Perang di era modern, tidak hanya melibatkan adu senjata canggih. Mulai dari pesawat tempur tanpa awak sampai rusak hipersonik. Perang di era sekarang juga melibatkan narasi dan propaganda yang disebar melalui kanal digital. Konflik Rusia dan Ukraina misalnya, diwarnai oleh perang narasi dua negara. R
Rusia mengklaim serangan ke Ukraina sebagai “denazifikasi”. Yakni upaya meredam kebangkitan Neo-Nazi yang diklaim eksis di Ukraina. Sebaliknya, Ukraina mengklaim bahwa serangan Rusia adalah bentuk agresi militer yang ilegal dan tidak ada bedanya dengan penjajahan gaya barvvu.
Dalam konflik India dan Pakistan pun, perang narasi ikut dimainkan. India mengklaim serangan ke Pakistan menyasar kelompok teroris yang kerap melakukan aksi kekerasan di wilayah India. Sedangkan Pakistan mengklaim serangan balasan ke India sebagai respons membela diri dan menjaga kedaulatan negara.
Perang narasi juga tampak pada pecahnya konflik antara Israel dan Iran dalam beberapa hari terakhir. Di media sosial, narasi kedua pihak saling bersinggungan demi memperebutkan dukungan netizen global.
Di satu sisi, Israel mengklaim serangan ke Iran sebagai langkah preventif mencegah penggunaan senjata nuklir oleh Iran yang akan membahayakan kawasan Arab. Di sisi lain, Iran mengklaim serangan ke Israel sebagai wujud solidaritas terhadap Palestina.
Perang narasi ini kerap membuat publik bingung dan terjebak pada misinformasi. Alhasil, tidak sedikit publik yang begitu saja percaya pada analisis hitam putih dan cenderung mensimplifikasi konflik.
Dalam konteks konflik di Timur Tengah, publik kerap terjebak pada narasi bahwa konflik antar-negara Arab semata dilatari isu agama. Konsekuensinya, publik kerap mengglorifikasi satu pihak yang dianggap membawa misi suci dalam berperang, sekaligus mendemonisasi pihak lain yang dianggap sebagai musuh.
Padahal, sepanjang sejarah tidak ada peperangan yang dilatari faktor tunggal. Perang adalah fenomena kompleks yang melibatkan multifaktor. Demikian juga dalam konteks perang Rusia-Ukraina, India-Pakistan, atau belakangan Iran dan Israel. Perang yang terjadi antarberbagai negara itu dilatari oleh beragam motif, mulai dari perebutan wilayah, perbedaan ideologi politik, perebutan sumber daya alam, sentimen ras dan etnis, isu keagamaan, dan masih banyak faktor lainnya.
Maka, penting kiranya kita memperkuat literasi geopolitik kita agar tidak mudah terjebak dalam analisa yang dangkal dan simplifikatif. Literasi geopolitik adalah kemampuan untuk memahami dan menganalisis hubungan antara faktor-faktor geografis, politik, dan ekonomi, dalam konteks hubungan internasional.
Pemahaman itu penting untuk melihat bagaimana kondisi geografis, kepentingan politik, sumber daya alam, dan kondisi sosial budaya sebuah negara itu berpengaruh pada kebijakan politik luar negeri dan cara berinteraksi dengan negara lain di panggung global. Literasi geopolitik juga membantu kita menganalisis mengapa dua negara berperang atau berkonflik.
Dalam konteks konflik di Timur Tengah, literasi geopolitik penting agar kita tidak terjebak pada perspektif sektarian dalam menganalisa konflik. Selama ini, kita kadung terbiasa menganggap konflik di Timur Tengah sebagai konflik antaragama atau sekte keaagamaan (Sunni dan Syiah).
Analisa yang dangkal dan berbasis pada sentimen sektarian ini lantas membuat kita, utamanya muslim Indonesia, terjebak dalam polarisasi isu yang memecah belah umat. Hari ini, nyaris tidak ada ruang untuk menganalisa konflik Iran dan Israel secara konstruktif. Umat Islam seolah dipaksa satu suara untuk mendukung penuh Iran. Suara kritis terhadap Iran akan dicap sebagai pendukung zionis dan pengkhianat perjuangan Islam.
Di titik ini, pemahaman terkait geopolitik Timur Tengah menjadi sangat urgen. Wilayah Timur Tengah secara sosio-historis memang rawan konflik, lantaran masyarakatnya yang mengagungkan fanatisme golongan. Bagi masyarakat Timur Tengah di era klasik, peperangan adalah sebuah kebanggaan.
Sejarah mencatat bagaimana perang antar suku dan klan di masyarakat Arab tradisional adalah hal yang normal. Pasca kolonialisme, ketika bangsa Arab terpecah ke dalam banyak negara yang dibentuk oleh Barat, fanatisme itu tidak serta merta hilang.
Situasi penuh ketegangan masih mewarnai relasi antarnegara di kawasan Arab dan Timur Tengah. Apalagi ketika minyak bumi ditemukan dan mengalami booming di awal dekade 1970an, Timur Tengah menjadi semacam primadona yang diperebutkan oleh banyak negara Barat.
Alhasil, Timur Tengah pun menjadi semacam arena pertempuran kepentingan ekonomi dan politik negara-negara Barat. Bisa dikatakan bahwa daya tarik sumber daya alam, terutama minyak bumi di kawasan Timur Tengah adalah sumber utama konflik di Timur Tengah. Semua itu berkelindan dengan intevensi asing yang lantas mengemasnya dalam isu agama, ideologi, dan sektarianisme.
Penguatan literasi geopolitik dibutuhkan umat Islam untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Timur Tengah. Dengan literasi geopolitik yang kuat, umat Islam tidak akan mudah dijebak oleh polarisasi isu yang menempatkan perang dalam kerangka pikir hitam-putih. Tidak ada perang yang benar-benar suci dari kepentingan politik dan ekonomi.
Maka, tidak ada alasan untuk menormalisasi apalagi mengglorifikasi peperangan. Langkah urgen yang dibutuhkan saat ini adalah membuka ruang dialog dan diplomasi agar tercipta perdamaian di Timur Tengah.
Ketegangan yang terus membara di kawasan Timur Tengah—dari konflik berkepanjangan Palestina-Israel, konfrontasi Iran-Israel, hingga luka…
Profesor dan Direktur Studi Intelijen dan Keamanan Nasional di University of South Florida, Randy Borum,…
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penggunaan isu konflik global yang melibatkan negara-negara Timur Tengah, sebagai…
Tanggal 18 Juni diperingati sebagai Hari Melawan Ujaran Kebencian Internasional. Peringatan ini merujuk pada resolusi…
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina kembali memasuki fase kritis, ditandai dengan agresi militer yang…
Membincangkan Timur Tengah seolah tidak lepas dari persoalan kemanusiaan dan konflik berkepanjangan. Satu konflik berakhir,…