Categories: Pustaka

Loyalitas Islam Terhadap NKRI

Peran Islam (yang direpresentasikan oleh golongan ulama dan santri) tak pernah terpisahkan dalam sejarah Nusantara. Kontribusi Islam tidak hanya bisa dirunut di zaman kemerdekaan saja, tapi sudah ada jauh di masa-masa kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Sumber-sumber sejarah yang menyebutkan soal ini bisa ditelesuri hingga sekitar abad 15 Masehi, sejak zaman Majapahit di pulau Jawa dan Samudera Pasai di Sumatera.

Loyalitas Islam terhadap tanah air di bumi Nusantara beberapa kali mengalami ujian. Di masa awal penyebarannya, Islam mengambil jarak untuk tidak berhadap-hadapan secara frontal dengan kekuasaan Majapahit kala itu. Pemuka Islam kala itu lebih memilih bekerjasama dengan penguasa Majapahit yang beragama Siwa-Budha.

Ketika Majapahit mengalami kemunduran dan terjadi perebutan tahta, Islam tampil sebagai kekuatan yang menjaga keutuhan persatuan Nusantara. Kekuatan yang terserak itu ‘dikumpulkan’ lewat otoritas baru bernama Kesultanan Demak Bintoro. Otoritas baru inilah yang pernah menahan intervensi asing dalam wajah kolonialisme yang dikomandoi Portugis.

Perlawanan-perlawanan sporadis terhadap penjajahan tak pernah berhenti dan berlangsung sepanjang 3 abad. Di tanah Jawa jejak perlawanan besar terjadi di tahun 1825-1830. Kolonial Belanda menyebutnya sebagai perang Jawa. Saat itu jejak perlawanan umat Islam terhadap hegemoni kolonial dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Mataram dari Keraton Ngajogjakarto Hadiningrat berlatar belakangn santri.

Tertangkapnya Diponegoro menandai berakhirnya masa perang Jawa yang dimenangkan oleh pihak kolonial. Sisa kekuatan Diponegoro kemudian terpecah ke banyak daerah di seantero Nusantara. Mereka menggalang kekuatan rakyat dengan mendirikan sejumlah pesantren. Kecintaan terhadap tanah air dan cita-cita mengusir kolonialisme ditanamkan lewat alur pendidikan. Haluan perjuangan diubah, dari mengangkat senjata ke penggunaan pena.

Konsolidasi nasionalisme kaum santri menjadi tren utama pendidikan pesantren saat itu. Bahkan, sejumlah ulama menjadikan Mekkah sebagai kota transit pemantapan ideologi nasionalisme keislaman santri. Di tanah suci selain menuntut ilmu jamaah haji asal Indonesia melakukan konsolidasi pengembangan jaringan perlawanan terhadap kolonialisme. Setelah tiba di tanah air mereka akan memimpin umat untuk secara perlahan dan pasti mengumandangkan anti kolonialisme.

Tak perlu waktu lama, hanya seabad setelah perang Jawa kekuatan santri menjadi semakin massif. Perlawanan terhadap kolonialisme makin kencang bertiup dari arah pesantren. KH. Cholil Bangkalan yang menjadi guru para kyai di awal abad 20 memerintahkan agar KH. Hasyim As’ary membentuk organisasi yang menghimpun kekuatan perlawanan kaum santri itu. Perintah itu dilaksanakan dengan membentuk Nahdlatul Ulama pada 1926.

Dorongan perlawanan semakin kuat paska peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan mencapai puncaknya di kisaran tahun 1940-an. Paska jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima Jepang menyerah kepada sekutu dan berniat mengembalikan jajahan Nusantara ke pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rencana itu ditolak bangsa Indonesia dengan segera memproklamirkan kemerdekaan di 17 Agustus 1945 di saat terjadi kekosongan kepemerintahan. Kaum santri memberikan loyalitas penuh pada kemerdekaan.

Loyalitas itu tak hanya sekedar dukungan lisan. Sejumlah tokoh santri terlibat secara aktif dalam perumusan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama KH. Wahid Hasyim merupakan salah satunya. Dialah yang menyetujui penghapusan Piagam Jakarta tentang ‘Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya’. Hal itu ia lakukan demi mempertahankan persatuan bangsa yang baru saja terbentuk.

Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia ilegal. Penjajah satu ini mencari dukungan sekutu untuk melakukan segala upaya untuk mengambil kembali jajahannya, termasuk aksi militer. Peran santri kembali diuji. Segenap kekuatan santri dikerahkan untuk menghalau penjajah. Laskar-laskar santri seperti Hizbullah dibentuk di sejumlah front peperangan. Puncaknya, jelang ultimatum sekutu kepada penduduk Surabaya, para kyai berkumpul menyatakan sikap agama menolak penjajahan. Bahkan, KH. Hasyim As’ary mengeluarkan Resolusi Jihad yang menjadikan legitimasi spiritual membela tanah air.

Buku ini secara apik mengulas dengan detail sejumlah nama tokoh Islam yang berperan terhadap keutuhan NKRI. Bagi pembaca di masa sekarang, buku ini akan menyadarkan sejumlah pihak bahwa Islam ala Indonesia adalah Islam yang konstruktif bukan destruktif. Para pembaca juga akan disodorkan sejumlah argumen agama atas sejumlah problem sosial kebangsaan yang dipecahkan secara bijaksana oleh para kyai. Jika para kyai yang tingkat keilmuan dan kesalehannya sangat tinggi mau berjuang habis-habisan mempertahankan NKRI, kenapa orang-orang yang mengatasnamakan Islam di masa sekarang tega ingin merubuhkan negara? Semoga jadi renungan bersama.

This post was last modified on 17 April 2015 3:25 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

2 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

2 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago