NKRI merupakan hasil dari perjuangan panjang para pahlawan, baik yang dikenal hingga kini maupun tidak sama sekali. Mereka telah berjuang mengorbankan jiwa dan raga, demi tegaknya negara yang mandiri, sehingga bisa menyejahterakan rakyatnya dalam suasana kehidupan yang damai.
Namun, perjalanan bangsa tak semulus yang diharapkan. Ada riak-riak kecil yang lalu dimanfaatkan oknum tertentu untuk mengurai tenun kebangsaan yang telah kuat. Dan, aspek yang paling mudah digunakan untuk menyulut emosi masyarakat adalah agama yang disalahgunakan. Alih-alih menjadi agen perdamaian, agama di tangan oknum tertentu menjadi mesin pembunuh yang efektif. Sekalipun bukan membunuh dalam artian fisik, setidaknya ajaran agama yang dipahami keliru –lalu dimanfaatkan- akan membunuh rasa toleransi antar sesama. Padahal, toleransi merupakan nilai dasar yang mesti ada dalam diri warga negara yang majemuk ini.
Oknum yang saya maksud adalah mereka yang tergabung dalam gerakan transnasional –atau yang berpaham Islam garis keras. Mereka telah membaca ‘pasar’ Indonesia, untuk menyemai ideologi mereka di berbagai lini kehidupan. Salah satu aspek yang mudah disusupi ideologi garis keras ini adalah lembaga pendidikan.
Orang tua mana yang tidak sakit hati ketika secara tiba-tiba dituduh kafir oleh anaknya sendiri. Lebih-lebih, anak tersebut baru duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar (SD). Itulah yang terjadi di Bekasi, dimana orang tua dituduh kafir lantaran masih duduk di depan televisi saat adzan dikumandangkan. Pun yang terjadi di Ciputat, di mana seorang ibu dituduh anaknya -yang berusia sekolah menengah pertama (SMP)- akan masuk neraka lantaran tidak menggunakan jilbab sebagaimana yang ia kenakan karena suruhan gurunya di sekolah (Abdurrahman Wahid (ed): 2009).
Menyalahkan anak tentu bukan hal yang bijak. Mereka bukanlah orang dewasa yang telah bisa menggunakan akalnya untuk membedakan mana yang salah dan tidak. Pada saat seperti inilah orang tua benar-benar diuji. Pasalnya, guru atau teman sejawat jauh lebih didengarkan oleh mereka daripada orang tuanya sendiri. Jika guru di sekolah memiliki paham Islam garis keras, misal, tentu anak didiknya pun akan ikut-ikutan, lalu dengan serampangan menyebut orang tuanya kafir, sesat, masuk neraka, maupun sebutan-sebutan serupa.
Lalu seperti apa ideologi (Islam garis keras) transnasional itu bisa masuk ke lembaga pendidikan? Masih dalam rujukan yang sama, dijelaskan bahwa ada dua strategi yang biasanya dipakai oleh kelompok garis keras, yakni diseminasi dan kaderisasi. Strategi pertama, penyelenggaraan program peribadatan, seperti training keislaman di sekolah-sekolah, pelayanan buku-buku gerakan, serta penyedia jasa dai gratis. Kedua, dengan kaderisasi. Gerakan ini melakukan pelatihan intensif bagi siswa maupun mahasiswa yang bakal dibina untuk menjadi kader. (Abdurrahman Wahid (ed): 2009)
Adapun dalam perkembangannya, kita bisa menyaksikan beberapa lembaga pendidikan telah dikuasai oleh agen Islam garis keras. Amat bisa terjadi, seorang guru di lembaga pendidikan tidak menyadari bahwa pemahaman keagamaannya cenderung keras, sehingga enggan menerima pendapat yang berbeda. Pemahaman keras ini lalu ditularkan kepada anak didiknya, dan berjalanlah proses kaderisasi intensif di kelas.
Madrasah Diniyah
Semenjak Belanda masuk ke Indonesia, masyarakat dikenalkan dengan sistem sekolah formal. Orientasinya untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum, lulus dengan berbekal keterampilan dan siap dipekerjakan. Di sisi lain, warga lokal juga memiliki sistem pendidikannya sendiri, tapi khusus untuk pendidikan agama, yaitu pesantren. Namun, pada perkembangannya, ada pula yang mengupayakan Madrasah yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Di Yogyakarta, ada KH. Ahmad Dahlan, yang merasa prihatin melihat anak-anak bangsa kurang asupan pendidikan, lalu mendirikan Madrasah Diniyah (Madin). Di Sumatera Barat juga ada Zainuddin Labai El-Yunusi, yang merintis sekolah agama sore yang disebut Madrasah Diniyah (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah).
Biasanya, Madin terdiri dari tiga jenjang pendidikan, yaitu Madin Awwaliyah, Madin Wustha, dan Madin ‘Ulya. Tentu saja, kesinambungan ini dilakukan dalam rangka membekali anak didik pendidikan agama. Karakternya juga khas, sesuai dengan daerah di mana Madin itu berada. Hal ini mengacu kepada prinsip fleksibilitas, berorientasi tujuan, efektifitas dan efisiensi, kontiunitas, serta pendidikan seumur hidup. (potren.com/2018) Bisa dikatakan, Madin menjadi wadah kaderisasi yang tepat untuk menyemai benih Islam moderat, yang sesuai dengan karakteristik bangsa.
Membentuk karakter memang butuh waktu yang lama. Terlebih, kini Indonesia tengah berperang melawan infiltrasi ideologi transnasional yang mengancam kedamaian hidup. Sepintas ideologi tersebut memang kelihatan baik-baik saja, yakni memerintahkan pada kebaikan –misal dengan label Islam. Tapi jika ditelisiki lebih dalam, memiliki visi yang amat bertentangan dengan NKRI.
Maka dari itu, Madin mesti dijadikan salah satu wadah kaderisasi bagi anak bangsa. Jangan biarkan generasi penerus diracuni otaknya dengan paham-paham garis keras. Berikanlah mereka pemahaman mengenai keislaman yang santun, yang tidak alergi dengan perbedaan. Bahwa dalam beragama dan berkeyakinan, berbeda sudah menjadi hal yang lumrah. Yang terpenting, sebagai warga negara Indonesia, kita mesti memahami makna dari persatuan dan kesatuan –yang dulu telah diajarkan para pahlawan bangsa.
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…