Narasi

Maqasid Syariah yang Perlu Dipahami dalam Melawan Wabah

Sudah diprediksi sebelumnya bahwasanya aturan penutupan tempat ibadah sementara selama PPKM Darurat memicu kelompok radikal untuk menunggangi isu ini. Kelompok radikal ini menggunakan narasi ini untuk menyerang pemerintah. Bahkan, mereka seolah mengutuk pemerintah dengan ayat-ayat agama dan pemerintah menghalang-halangi untuk beribadah.

Anggapan tersebut tentu sangat konyol di tengah-tengah wabah Covid-19 yang mengganas, di mana jumlah orang yang positif terpapar Covid-19 bahkan meninggal dunia semakin melonjak. Dan penutupan ibadah sementara, merupakan bagian dari ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Bukan sama sekali maksud menghalang-halangi untuk beribadah.

Prinsip dar’ul mafasid muqadum ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan harus diutamakan daripada mendapatkan kemashlahatan) dijadikan pijakan pemerintah untuk melindungi warga negara dalam rangka memenuhi prinsip menjaga keselamatan diri (hifdzun nafs).

Bahkan kalau kita kuliti sejarah sebagaimana disebutkan oleh Halimi Zuhdi dalam islam.nu.or.id (30/3/2020) Ka’bah pernah ditutup beberapa kali. Misalnya saja, penutupan Ka’bah selama beberapa hai, seluruh aktivitasnya diberhentikan terjadi ketika Hajaj bin Yusuf al-Staqafi menyerang Ka’bah pada 693 M.

Berikutnya, pada 930 M juga ada penutupan Ka’bah secara total pada masa dinasti Abbasiyah, karena serangan dahsyat suku Qaramithah di bawah pimpinan Abu Tahir al-Qurmuthi. Mereka membantai 30.000 jamaah haji (ada yang memyebutkan 1.700). Pada masa ini menjadi penutupan Ka’bah terlama dalam sejarah, dan Qaramithah menjarah Hajar Aswad selama 22 tahun. (al-Mizan).  

Kemudian peristiwa lain, ketika Masjidil Haram dikuasai oleh Juhaimah al-‘Utaibi, seorang islamis garis keras pada 1979 M. Ka’bah ditutup total selama 15 hari. (al-Bawwabah).  

Pada tahun 1814 M, sekitar 8.000 orang meninggal dunia karena epidemi di Hijaz, dan pelaksanaan haji terganggu pada tahun ini. Terjadi lagi epidemi pada tahun 1837 M, aktivitas haji di al-Haram al-Makki dihentikan dan itu berlanjut sampai 1892, dan selama periode itu seribu peziarah meninggal setiap hari. (at-Taqarir). Dan masih ada lagi kondisi darurat yang membuat keputusan Ka’bah untuk ditutup sementara.

Berbagai ulasan sejarah penutupan Ka’bah tersebut seharusnya membuka mata para oknum yang menuduh pemerintah tanpa dasar. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa dalam Islam kita tentu mengenal kaidah fiqih yang berarti menghindarkan kerusakan atau kerugian yang besar lebih diutamakan daripada upaya membawakan keuntungan atau kebaikan yang sedikit (dar’ul mafaasid muqoddam ‘alaa jalbil mashoolih).

Atau dalam versi lain berbunyi “dar’ul mafaasid aulaa min jalbil mashoolih”, merupakan kaidah fiqh cabang, dari kaidah pokok “adh-dhororu yuzaalu” yang artinya bahaya haruslah dihilangkan. Al-Mafaasid ialah berbagai hal yang dapat menimbulkan bahaya, dan bahaya itu sendiri, atau “dharar” atau “dhirar”, sesuatu yang melukai, menimbulkan kesulitan, kesempitan, atau berdampak buruk pada diri seseorang; atau berdampak pada masyarakat luas atau orang lain.

Selanjutnya juga kita mengenal Maqasid Syariah sebagaimana diungkapkan Sudirman Suparmin yang merupakan tujuan-tujuan hukum dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah SWT untuk kemashlahatan umat di dunia dan akhirat. Kemashlahatan bagi umat dan menghilangkan kemudharatan adalah salah satu tujuan disyariatkan hukum dimuka bumi ini. Maqasih Syariah dan kemashlahatan dharuriyah merupakan sesuatu yang penting untuk mewujudkan kemashlahatan agama dan dunia. Maka bila kemashlahatan kersebut tidak terwujud maka akan menimbulkan kerusakan bagi manusia dan bahkan di muka bumi ini, tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan maqasih syariah dan bahkan akan menghilangkan kemaslahatan hidup dan kehidupan.

Berbagai penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa penutupan tempat ibadah sementara bukan semata-mata mengandung maksud untuk menghalang-halangi umat untuk beribadah, akan tetapi demi kemaslahatan bersama dalam rangka upaya memutus mata rantai Covid-19.

This post was last modified on 8 Juli 2021 12:22 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago