Narasi

Masjid: Pilar Islam Ramah, Bukan Marah-Marah

Keberadaan masjid seringkali disalahfungsikan untuk menyebarkan narasi ujaran kebencian yang mengarah pada narasi Islam Radikal. Terlebih pada masa tahun politik seperti sekarang, narasi kebencian terhadap pasangan calon pemimpin yang tidak didukung oleh khatib atau takmir masjid seolah menjadi hal lumrah untuk dilakukan. Tentu saja, kenyataan ini memberi cambukan keras kepada umat beragama Islam. Islam yang dikenal sebagai agama penebar rahmat dan kesejukan, justru tempat ibadahnya terindikasi menjadi sarang penyebaran ujaran kebencian.

Fungsi Masjid

Masjid merupakan institusi paling efektif dalam membangun masyarakat. Nabi Muhammad sudah memberi contoh sangat nyata kepada umat Islam. Di masa Nabi, masjid bukan hanya dijadikan tempat ibadah, tapi juga menjadi basis orang muslim yang saat itu masih minoritas. Di sinilah ia berdakwah mengajak orang-orang untuk masuk Islam. Di sini juga ia mendiskusikan persoalan sosial dan politik, terutama untuk menghadapi kemungkinan datangnya serangan orang Quraisy Mekkah atau gangguan dari orang-orang yang tidak suka dengan kaum muslim, misalnya orang munafik dan orang Yahudi. Masjid di masa Nabi Muhammad mampu menjadi oase di tengah gersangnya kehidupan masyarakat Arab. Dari masjid, Nabi membangun peradaban umat manusia.

Beberapa hal yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad terkait masjid. Pertama, sebaga tempat menjalankan fungsi keagamaan. Masjid, sesuai dengan namanya, berarti tempat bersujud kepada Allah. Masjid adalah tempat bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya orang-orang yang sedang berserah diri dalam keta’atan kepada Allah. Dari sini, Rasulullah bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR. Bukhori dan Muslim).

Baca juga : Rumah Ibadah: Rumah Pemersatu Umat

Kedua, masjid menjadi pusat pemerintahan. Di masa Nabi, masjid adalah gedung parlemen masyarakat Islam. Persoalan kebangsaan dan kenegaraan diselesaikan di masjid. Rapat-rapat penting negara diselenggarakan di masjid. Koordinasi, evaluasi, dan strategi bernegara dijalankan di masjid (Muhammadun, 2016). Ketiga, masjid sebagai pusat pendidikan. Masjid Nabawi menjadi tempat Nabi mengajari umatnya. Bukan saja belajar ajaran agama, tetapi juga belajar apapun. Di sebelah barat masjid Nabawi, dibuat ruangan untuk mereka yang belajar kepada Nabi. Namanya al-suffah. Penghuninya dikenal ashab al-suffah. Para penghuninya setia belajar kepada Nabi dan para sahabat lainnya tentang berbagai hal dalam kehidupan.

Keempat, masjid sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masjid dijadikan Nabi Muhammad sebagai sentral pemberdayaan masyarakat yang masih terpinggirkan dengan didirikannya baitul mal (gudang harta). Mereka yang kaya diajak Nabi untuk rajin zakat dan sedekah, wujud membangun keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.

Dari sini, dapat diketahui bahwa masjid merupakan sarana untuk mensejahterakan umat. Bukan penebar ujaran kebencian yang dapat memecah-belah persatuan serta meneror umat dengan memanfaatkan salah kaprah pemahaman agama.

Langkah Strategis

Memang, tidak tepat apabila masjid dijadikan tempat persemaian ujaran kebencian dan paham radikal karena sarat kepentingan golongan yang mengancam persatuan dan kesatuan. Masjid harus menjadi basis gerakan melawan paham radikal. Beberapa langkah strategis berikut dapat dilakukan untuk menahbiskan masjid sebagai basis gerakan penebar kesejukan dan perdamaian.

Pertama, penekanan Islam agama damai, moderat, toleran, serta berprinsip merangkul umat bukan memukul umat yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat yang turut memakmurkan masjid. Kedua, membentuk kurikulum pendidikan Islam di masjid yang pro perdamaian dan sarat toleransi. Materi khutbah Jumat, pengajian harian/mingguan/bulanan, dan hari besar Islam harus dipastikan terbebas dari penyebaran paham radikal.

Ketiga, kyai, ustad, penceramah di masjid harus jelas rekam jejaknya. Jangan sampai takmir masjid mengundang pengisi pengajian masjid dari kelompok radikal yang suka menebar narasi ujaran kebencian. Keempat, dakwah di masjid harus menerapkan pendekatan agama-budaya. Muatan dakwah harus lekat dengan kultur budaya masyarakat setempat. Tidak membedakan dan membenturkan antara agama dan budaya. Karena dua hal tersebut merupakan bagian dari pondasi berdirinya NKRI yang kita huni sampai saat ini.

Inilah cara yang dapat ditempuh masjid agar terbebas ujaran kebencian dan doktrin radikal, sehinggamasjid menjadi rumah ibadah yang pro dengan kesejahteraan umat. Jamaah masjid pun akan menjadi pribadi yang tidak anti perbedaan, penyuka perdamaian, toleran, serta lebih mementingkan kemaslatan umat daripada kemaslahatan golongan. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago