Narasi

Maulid Nabi, Momentum Membangun Generasi Toleran

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tahun 2018 ini menjadi momentum sangat tepat bagi bangsa ini untuk menegakkan karakter Nabi Muhammad yang toleran dan transformatif. Dalam jejak hidupnya, Nabi Muhammad dikenal tokoh sangat toleran, sehingga tak salah kalau negara yang dibangunnya, Madinah, yang multi-etnik dan mukti-agama, menjadi negara yang sangat maju dan berkeadaban.

Peradaban toleran yang berada di Madinah menjadi tonggak sejarah dunia. Selama ini, perbedaan satu dengan yang lain dianggap sebagai ancaman dan musuh. Perbedaan agama seringkali menyulut konflik yang mengenaskan. Sehat jiwanya untuk selalu bersikap toleran dan damai menjadi kunci utama dalam membangun peradaban di masa depan. Untuk membangun generasi dengan jiwa toleran ini, dunia pendidikan mempunyai peran sangat krusial. Sekolah selama ini masih belum mampu mengembangkan model pendidikan toleransi, sehingga sekolah seringkali tidak mempunyai referensi memberikan bekal nilai toleransi kepada peserta didiknya. Tidak sedikit perbedaan agama justru menjadi konflik antar siswa di sekolah. Ini sangat berbahaya, karena pendidikan justru menjadi embrio lahirnya kebencian dengan sesama.

Menurut Prof Bruce D. Perry (2013), sekolah harus menjadi sumber lahirnya rasa aman dan rasa bahagia, jangan sampai ada kebencian. Ada dua faktor dalam diri anak untuk merasakan keamanan dalam dirinya. Pertama, adalah ia harus merasa bahwa dirinya spesial, berharga, dan diterima. Jika ia merasa diterima oleh orang lain, akan lebih mudah untuknya bisa menerima orang lain.

Kedua adalah level keterancaman anak dalam situasi baru. Otak memiliki sistem saraf yang menilai dan merespon pada ancaman potensial. Otak secara langsung akan memroses pengalaman baru sebagai hal yang negatif dan menilainya sebagai ancaman hingga terbukti kebalikannya. Jika ia berada dalam lingkungan yang ia kenal, pengalaman baru akan dinilainya sebagai keadaan aman dan menarik. Namun, jika keadaannya tak ia kenal dan mengancam, ia akan menilainya sebagai keadaan menakutkan.

Dua Model Pembelajaran

Muhammad Munadi (2007) melihat ada dua model yang bisa dikembangkan sekolah dalam membangun pendidikan yang toleran. Pertama,  model aksi-refleksi-aksi dalam pembelajaran yang lebih mementingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap-masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggunakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value).

Dialog yang digunakan bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentransfomasi realitas (Freire dan Shor, 2001: 51-52). Yang utama dari paradigma ini adalah pengakuan manusia sebagai hal yang sentral bagi sebuah perubahan yang memandang sistem dan struktur sosial secara kritis (Mansour Fakih, 1996: 63).

Baca juga : Maulid Nabi: Meneladani Nabi Muhammad dalam Cinta Tanah Air

Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memiliki prasyarat (diilhami dari sebuah buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, karya Walter Fernandes dan Rajesh Tandon), diantaranya: Tidak ada pembagian kekuasaan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati; Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol; Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa; Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses.

Kedua, model ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, langkah yang ditempuh meliputi: konteks, pengalaman (langsung maupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan mengacu juga kepada yang ditampilkan), dan evaluasi (Drost, 1999: 45-58).

Dua model ini sangat strategis kalau bisa diaplikasikan dalam lembaga pendidikan, tetapi tergantung kesiapan sekolah terkait sarana dan kemampuan guru dalam mengelola suasana pembelajaran.

Menjadi Toleran-Transformatif

Menjadi pribadi toleran mesti dibarengi sikap transformatif. Artinya, nilai-nilai toleransi harus ditransformasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata, sehingga nilai toleransi mampu menciptakan tatanan sosial yang berkeadaban dan bermartabat. Menurut Arif Republik (2008) ada beberapa tips menarik yang bisa digunakan untuk membangun semangat toleran-transformatif kepada generasi bangsa.

Pertama, menunjukkan sikap menghargai orang lain. Tinggal di lingkungan perumahan memungkinkan pertemuan dengan para tetangga dengan budaya, agama, dan kebiasaan yang beragam. Bergaul dan selalu menghargai satu sama lain akan memberi contoh bertoleransi yang baik pada anak. Kedua, memberikan contoh. Orang tua dapat mengajarkan toleransi dengan memberikan contoh-contoh dengan cara mereka sendiri. Membicarakan tentang toleransi dan sikap menghargai akan membantu anak memahami nilai apa yang ingin Anda tanamkan pada diri mereka.

Ketiga, berhati-hati dalam bicara. Ingatlah bahwa anak-anak selalu mendengar perkataan Anda. Jadi, hati-hatilah jika membicarakan kebiasaan orang-orang yang berbeda dengan diri Anda. Meskipun hanya candaan, ini akan terserap padapikiran si anak dan dapat memengaruhi sikapnya. Keempat, cermat memilih mainan, buku, musik. Ingatlah pengaruh media sangat besar dalam membentuk perilaku anak. Fokuskan pembicaraan dengan anak mengenai stereotipe yang tidak adil dan mungkin terpapar di media seperti film dan cerita-cerita pada buku.

Kelima, menjawab dengan jujur. Pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan kebiasaan beragama dan berbudaya yang berbeda harus dijawab dengan jujur dan mencerminkan sikap menghormati. Keenam, mencari komunitas yang beragam. Berilah kesempatan anak untuk bermain dan beraktivitas dengan orang lain yang berbeda dengan diri mereka. Misalnya ketika memilih sekolah, tempat berlibur, atau penitipan anak, carilah tempat yang populasinya beragam.

 

This post was last modified on 23 November 2018 2:56 PM

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago