Media sosial menjadikan hal yang jauh, menjadi dekat tanpa sekat. Media sosial menjadikan seseorang dapat secara cepat mendapatkan dan menyebarkan informasi. Di sisi lain internet juga memberikan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Di mana, mereka yang menelan mentah-mentah tanpa konfirmasi lebih jauh informasi, maka akan mudah mendapatkan kabar bohong.
Kehadiran sosial media juga dimanfaatkan orang-orang jahat, seperti yang dilakukan para teroris yang memanfaatkan media sosial untuk merekrut anggota baru. Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut sekira 39 persen mahasiswa di Tanah Air telah terpapar paham radikal. Bahkan, paham radikal juga dinilai tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi yang tak hanya menyasar kalangan mahasiswa. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan mengaku pihaknya tengah melakukan pengamatan penyebaran radikalisme di kalangan kampus. Sejumlah kampus di 15 provinsi di Tanah Air ditengarai menjadi tempat pembasisan calon-calon pelaku teror baru dari kalangan mahasiswa.
Menurut Budi Gunawan hasil survei BIN pada 2017 menyebutkan 39% mahasiswa dari berbagai PT di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad, untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.
Melihat berkembangnya pemahaman ini, tidak disikapi dengan baik, maka akan mempengaruhi keutuhan bangsa ini. Terlebih yang terpapar dalam pemahaman radikal merupakan penerus bangsa yang akan menerus cita-cita para pendiri bangsa ini. Ketika penerus bangsa sudah memiliki pemahaman yang tidak sejalan dengan kehidupan bersama dalam menjaga kerukunan, maka bangsa ini tiadakan bisa menjadi bangsa yang besar.
Terlebih pengguna sosial media di dunia maya semakin hari semakin luas, bahkan seseorang setiap detik tidak bisa terlepas dari media sosial. Seperti yang disebutkan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei tentang penetrasi dan perilaku pengguna internet Indonesia pada 2017, Bahwa ada peningkatan jumlah pengguna internet Indonesia menjadi 143,26 juta pada 2017. Sebagai catatan, data populasi penduduk Indonesia tercatat berjumlah 262 juta orang.
Sedangkan hasil survei INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) pada Oktober 2016 lalu menyebutkan bahwa media sosial seperti Facebook dan jejaring media lainnya menjadi sumber informasi bagi generasi muda. Persentasenya, Facebook 64,8%, Youtube 6,3%, Twitter 5,9%, Blogspot (0,5%), dan lain-lain 22,5%. Adapun media untuk mengakses internet lebih dominan menggunakan smartphone 87,8%, melalui warnet 5,8%, dan lain-lainnya.
Sementara itu hasil survei yang diprakarsai Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada awal tahun ini menyebutkan, jenis howe howe yang sering diterima masyarakat adalah perihal sosial-politik 91,80%, SARA 88,60%, kesehatan 41,20%, penipuan 32,60%, dan lainnya. Sementara saluran penyebaran hoax paling dominan melalui media sosial 92,40%, aplikasi chatting 62,80%, situs web 34,90%, televisi 8,70%, media cetak 5%, e-mail 3,1%, dan radio 1,20%. Harus diakui bahwa media sosial (medsos) dapat membantu memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Melihat potensi yang lebih besar dalam dunia internet, maka pengguna harus menjadi sosok yang memiliki solidaritas sosial yang kuat melalui media sosial. Yang diviralkan adalah berita atau konten negatif seperti provokasi, hujatan, kebencian, agitasi, fitnah, hoax, tatanan sosial akan berubah menjadi ruang yang penuh dengan ketegangan, ajang untuk saling menghujat, menyesatkan masyarakat, dan sebagainya sehingga membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa serta menghambat pembangunan nasional.
Dampak positif bila media sosial dikelola dengan baik sudah terbukti nyata dalam kehidupan ini. seperti Bu Saeni, pengusaha warteg di kota Serang. Karena dia berjualan pada Bulan Ramadan, maka warungnya terkena razia Satpol PP (10/6/2016).Ratapan Bu Saeni lantaran warungnya dirazia, yang menjadi viral di media sosial, berhasil memancing simpati dan solidaritas mengalir kepada Bu Saeni.
Seorang netizen menggalang donasi bantuan untuk Bu Saeni melalui media sosial. Hanya dalam tempo 36 jam, solidaritas netizen berhasil menghimpun dana sebesar Rp 265.5 juta. Dari jumlah itu, sebesar Rp 170.8 juta diserahkan ke Bu Eni. Sisanya dialokasikan untuk pengusaha warung makan yang terdampak serupa.
Dampak media sosial masih banyak lainnya. Nah, melihat dampak tersebut, kita bisa ambil satu pembelajaran tatkala kita memiliki media sosial seharusnya menjadi jembatan untuk mempererat solidaritas sosial. Di sisi lain yang harus diperhatikan dalam melawan radikalisme adalah gerakan bersama dalam melawannya. Radikalisme merupakan sebuah patologi sosial harus dilawan secara bersama-sama. Tidak hanya pemerintah yang membuat aturan-aturan, kemudian ditindaklanjuti instansi pemerintahan yang menjalankan. Melainkan masyarakat juga ikut aktif dalam menanggulangi pemahaman radikalisme kepenerus bangsa.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…