Narasi

Medsos dan Mahalnya Persaudaraan

Masih menarik dan relevan apa yang pernah diucapkan mendiang Bung Karno dalam beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam sebuah pidatonya, Presiden RI pertama itu berkata: “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!.”

Secara substantif, isi pidato Bung Karno adalah untuk memperkuat tali persaudaraan dan sekaligus mengingatkan dan mengukuhkan bahwa Indonesia adalah negara semua buat semua, bukan milik segerombol orang, kaum bangsawan, pengusaha, dan lain-lainnya. Dalam konteks kemajuan internet yang ditandai dengan munculnya media sosial, pesan Bung Karno patut dijadikan sebuah renungan dan gerakan nyata; medsos harus memperkuat basis kebersamaan dan memper erat tali persaudaraan.

Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui bahwa dunia, juga Indonesia, sedang menghadapi pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi. Internet menjadi penanda bahwa kemajuan dunia sudah begitu cepatnya. Temuan-temuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi terus bermunculan bak tumbuhan padi di musim subur.

Media sosial (medsos) adalah satu dari sekian produk kemajuan digital dunia. Dua puluh tahun yang lalu, sangat sedikit orang membayangkan sebuah interaksi tanpa adanya jasad. Atau, interaksi tanpa bertatap muka merupakan sebuah kekonyolan. Namun, sesuatu yang dulu tak terbayangkan itu, kini benar-benar terwujud dan kita sedang menikmatinya; interaksi tanpa ruang dan waktu, cukup tersambung dalam akses internet.

Benar. Medsos telah memudahkan dan memberikan sejuta manfaat bagi manusia. Namun siapa sangka, hanya gegera medsos, suatu negara hancur, tidak kondusif dan hampir luluh-lantah. Perang saudara ditengarai yang menjadi faktor utamanya adalah medsos yang menyebarkan konten provokatif dan bohong.

Kini, fenomena ‘impor’ semacam itu hampir telah menemukan ladang empuknya di Indonesia. Dengan populasi penduduk yang mencapai ratusan juta dan terdiri atas berbagai macam suku, agama, budaya dan isis kepala, memang menguatkan pernyataan bahwa Indonesia ladang empuk untuk menyebarkan provokasi, hoax dan lain sebagainya. Tujuannya tentu jelas; agar masyarakat Indonesia sibuk bertengkar dan ujung-ujungnya perang saudara.

Singkat kata, media sosial yang disalahgunakan akan amat sangat mengancam persaudaraan yang telah lama dibangun dan dirawat sedemikian rupa. Banyak alasannya. Pertama, konflik yang mudah dibesarkan. Benar hasil pengamatan Sodara Anton Prasetyo dalam Media Sosial sebagai Penyambung Tali Persaudaraan (jalandamai.org, 03-08-2017), bahwa konflik-konflik yang dapat memutus tali persaudaraan sejatinya adalah sepele. Lebih lanjut, ia menganalogikan: Ibarat api kecil, dengan di share di media sosial, maka api tersebut telah dipupuk dengan bongkahan kayu bakar serta disiram dengan minyak tanah. Dengan kondisi semacam ini, api yang tadinya hanya kecil akan menjadi besar dan sulit untuk dipadamkan.

Memang, sering kali masalah dan konflik di media sosial di bawa dalam dunia nyata. Akibatnya, seperti saat ini; masyarakat terbelah. Antara pro-dan kontra tidak dapat dhindari. Alih-alih berdebat, yang ada adalah menjatuhkan satu dengan yang lainnya.

Medsos yang Menyatukan

Dalam kondisi inilah, masyarakat Indonesia harus sadar dan terencana dalam memanfaatkan media sosial untuk membangun ukhuwah kebangsaan dan kemanusiaan. Buah dari ukhuwah itu adalah memperkuat tali persaudaraan.

Harus diakui dan disadari pula bahwa persaudaraan adalah mahal. Oleh sebab itu, medsos, sekali lagi, harus dimanfaatkan untuk memupuk persaudaraan yang mahal itu agar tidak hilang dan hancur.

Memang tidak mudah menjadikan medsos sebagai pemerkuat tali persaudaraan. Namun ketidak mudahan itu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Komitmen bersama menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan.

Setelah kominten nasionalisme dan patriotrisme di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka medsos niscaya dapat mengantarkan masyarakat Indonesia ke depan pintu kesejahteraan, kedamaian dan kemakmuran. Semoga!

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

20 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

20 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

20 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

20 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago