Momentum hari lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2021 nanti, sejatinya mengingatkan kepada kita semua betapa Pancasila sebagai dasar, falsafah dan ideologi bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan yang kian mengkhawatirkan.
Liberalisasi yang menggeliat di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama politik, telah membawa konsekuensi tersendiri, yakni maraknya ideologi-ideologi yang bertentangan dan bahkan tidak bisa disinkronisasikan sedikit pun dengan ideologi Pancasila di ruang publik keindonesiaan.
Mari sejenak berpikir. Bagaimana mempertemukan konsep politik kekhalifahan atau Daulah Islamiyah dengan Pancasila? Meskipun nilai Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diusung oleh kelompok pendukung khilafah, namun dalam ranah praktisnya akan merusak tatanan yang sudah mapan dan menjadi konsensus bersama oleh para pendiri bangsa ini.
Dari perspektif agama pun, ide ini masih menyisakan sejuta perdebatan. Ini menunjukkan bahwa ide mendirikan khilafah di Indonesia secara otomatis akan tertolak. Apalagi mempertemukan komunisme dengan Pancasila. Mengkompromikan hal-hal tersebut tentu saja bukan sekedar bak mimpi di siang bolong, melainkan juga sebuah kemuskilan yang amat jelas.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik namun tetap harus dicarikan sebuah jawabannya. Bagaimana negara dan warganegara ini harus bersikap terhadap perkembangan ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila? Jawabannya jelas. Terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, negara dan warga negara ini harus tegas menolak ideologi yang bertentangan dengan falsafah dan konsensus nasional.
Tulisan ini akan mencoba mengulas tentang bagaimana negara membuat instrumen yang mengarah pada peningkatan perlindungan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan terhadap serangan-serangan ideologi lain selain Pancasila. Artinya, bagaimana Pancasila terlindungi secara konstitusional.
Aspek konstitutional ini sangat penting dan harus menjadi perhatian kita yang pertama dan paling utama karena melalui jalan inilah, pengamanan Pancasila akan lebih terarah dan benar-benar membuahkan hasil yang maksimal.
Untuk itu, mari kita kuak terlebih dahulu mengenai sejauhmana konstitusi kita saat ini dalam upaya melindungi Pancasila. Terkait hal ini, tokoh NU sekaligus intelejen RI As’ad Said Ali dalam Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa (LP3ES, 2019) menjelaskan bahwa setelah TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dicabut, maka pengamanan Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sangat rentan. Ironi semakin dalam ketika kita menyimak bahwa di dalam Amandemen UUD 1945, masalah krusial ini sama sekali tidak dibahas. Perubahan ini masih belum menyentuh pada aspek perlindungan Pancasila secara tegas, karena yang dibahas dalam perubahan itu baru seputar tidak mengubah pembukaan UUD 1945, mempertahankan NKRI, tetap menerapkan sistem presidensial, dan lainnya.
Minimnya perlindungan Pancasila juga terlihat dari tidak dicabutnya TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia. Memang, instrumen tersebut mampu melindungi Pancasila dari infiltrasi kelompok komunis, dan marxisme-leninisme, tetapi tidak terlindungi dari ideologi khilafahisme dan liberalisme dan lainnya.
Memang ada instrumen lain yang bisa dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengamankan Pancasila dari upaya-upaya jahat ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, yakni mengamankan Pancasila dengan menggunakan pasal ‘ujaran kebencian’ sebagaimana yang termaktub dalam KUHP. Namun lagi-lagi pasal tersebut masih bersifat umum. Oleh karena itu, perlu diperkuat dan diperluas cakupannya supaya bisa mengakomodasi kebutuhan kekinian seperti penghinaan terhadap golongan penduduk, aliran serta tindakan-tindakan lainnya yang dapat memecah kesatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Memperkuat Pengamanan Pancasila
Harus diakui dan disadari bahwa berdasarkan uraian di atas dan perkembangan yang mutahir di republik ini, ideologi yang bertentangan dengan Pancasila masih melalang buana dan seolah bebas mengitari ruang-ruang publik di Tanah Air. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pengamanan Pamcasila sebagai dasar dan ideologi serta falsafah bangsa masih sangat mengkhawatirkan sehingga banyak hal yang harus dilakukan guna melindungi dan memperkuat Pancasila.
Pertama, memperkuat Pancasila melalui konsolidasi demokrasi (Said Ali, 2019: 123). Mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus berani mengakui bahwa demokrasi menjadi ‘celah’ merebaknya ideologi-ideologi di Tanah Air, terutama pasca reformasi. Hal ini karena kran kebebasan telah dibuka. Untuk itu, demokrasi yang semacam ini harus dikonsolidasikan supaya menjadi demokrasi subtantif dan berdampak pada penguatan dan pengamanan Pancasila.
Kehidupan demokrasi harus dikonsolidasikan. Maksudnya, demokrasi jangan sampai mengarah pada dan berpusat hanya pada kepentingan elit dan privat saja. Kemudian kebebasan sipil juga harus dikonsolidasikan dengan cara merevitalisasi warga negara sebagai subjek dan identitas politik. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan yang tumbuh ber-orientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan segelintir orang saja. Jika sudah demikian, maka ruang-ruang publik akan menjadi ruang produktif dan ideologi-ideologi trans-nasional akan mental seiring dengan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
Kedua, memperkuat Pancasila melalui ranah hukum. Kebebasan memang menjadi sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Meskipun demikian, kebebasan bukan berarti bebas melakukan apa pun, termasuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, misalnya. Ranah kebebasan harus dibangun di atas landasan hukum yang kokoh, yang memiliki tujuan selian melindungi kebabasan itu sendiri, juga melindungi negara atau ideologi negara dari ancaman keamanan dan ideologi.
Ranah hukum ini juga harus memperhatikan aspek lain, yakni jangan sampai tindakan pengamanan negara (state security) atau ideologi bertabrakan dengan kebebasan berpolitik atau ber-ekspresi warga negara. Dengan demikian, dalam konteks melindungi dan mengamankan Pancasila, suatu kebebasan jika itu mengarah pada merusak ideologi bangsa, maka ranah hukum bisa menindaknya secara tegas. Hal ini bukan berarti membatasi kebebasan, melainkan sebagai upaya tegas melindungi Pancasila dan tentu saja untuk/demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
This post was last modified on 31 Mei 2021 12:00 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…