Narasi

Melindungi Demokrasi Kita, dari Para Provokator!

Iklim demokrasi kita, saat ini sedang berada dalam situasi (bahaya) para provokator pemecah-belah bangsa. Mereka-mereka ini bukan mengkritik secara objektif, konstruktif dan tulus demi kebaikan bangsa ini. Melainkan sengaja memprovokasi masyarakat, memproduksi hoax dan memfitnah pemerintah yang sah seakan-akan berada dalam kebobrokan. Agar, mereka bisa memporak-porandakan bangsa ini.

Oleh sebab itu, kita perlu melindungi kultur demokrasi kita dari para provokator. Jangan biarkan mereka-mereka ini diberikan ruang untuk memprovokasi masyarakat dan berpecah-belah. Kita perlu melindungi demokrasi kita yang terbangun untuk menyalurkan aspirasi dan kritikan yang konstruktif. Yang secara sengaja dibentangkan untuk kebaikan bangsa ini.

Jangan biarkan para provokator ini bersembunyi di balik kebebasan dan hak demokrasi. Lalu seenaknya menghancurkan dan memecah-belah bangsa secara transparan dan perlahan semakin membakar.

Karena kita perlu menyadari, sebagaimana fungsi demokrasi itu, seyogianya bukan hanya perihal tentang sebuah kebebasan. Lalu dengan mudah dan “seenaknya” kita melakukan apa-pun sebebas-bebasnya. Termasuk aktivitas mengkritik pemerintah yang tidak lagi mengedepankan substansi tujuan dari kritik itu sendiri. Karena hanya bermodalkan cacian, kebencian dan gemar (provokatif). Lalu tindakan yang tidak ber-etika itu disebut sebagai kritik.

Padahal, kritik sejatinya harus memiliki substansi tujuan yang sifatnya konstruktif. Bagaimana kita perlu membangun ide yang (paradigmatis). Yaitu untuk membina, membangun, memperbaiki dan menyampaikan setiap masukan atau aspirasi dalam bentuk kritikan tadi.

Di sini sangat jelas sekali. Bahwa yang namanya kritikan itu harus konstruktif, bukan provokatif. Artinya, tidak hanya bermodalkan cacian, kebencian dan adu-domba perusak persatuan. Akan tetapi, melainkan sebuah usaha kita untuk menjunjung, merawat dan berkontribusi bagi bangsa ini. Melalui kritikan yang disampaikan kepada pemerintah sah sebagai alternatif kita untuk berjuang demi kebaikan bangsa ini.

Karena kritik yang konstruktif itu, memiliki prinsip “Jika pemerintah itu salah, maka sampaikanlah aspirasi untuk bisa diperbaiki”. Artinya, ada semacam fungsi dan tujuan untuk memperbaiki. Bukan sesuatu yang benar, justru disalah-salahkan dan dibuat fitnah sedemikian rupa agar pemerintah terkesan salah. Sehingga, provokasi yang  dibuat agar masyarakat benci terhadap pemerintah.

Karena misi kritikan yang provokatif ini, seyogianya tidak lagi untuk memperbaiki. Apalagi memberi sebuah solusi. Karena kritikan yang provokatif ini justru hanya modal benci dan caci. Jadi, orang-orang yang suka provokatif, sebetulnya mereka ini hanya membuat masalah. Bukan sebagai pemecah masalah. Karena fungsi mereka yang doyan provokatif ini selalu memunculkan masalah.

Dari sini, kita perlu menggunakan logika kita secara matang dan mendalam. Agar kita tidak hanya sekadar modal benci, caci dan provokasi. Lalu seenaknya itu mengatasnamakan sebuah kritikan dan bernaung di atas demokrasi. Padahal, kritikan tidak rendahan yang semacam itu. Artinya, aktivitas kritik itu memiliki kelas fungsional yaitu memperbaiki, membangun dan menyampaikan aspirasi. Lantas, apa kontribusi para penyebar provokasi bagi pembangunan bangsa ini? Atau minimal baik perbaikan bangsa ini? Aspirasi apa yang bisa menyelesaikan masalah yang telah dilakukan oleh para aktor provokasi ini?

Tiga pertanyaan ini dari perbaikan apa bagi bangsa, serta menyelesaikan persoalan apa dan pembangunan apa yang telah dilakukan. Tiga pertanyaan ini jika kita pahami dengan logika berpikir kita. Lalu kita pahami aktivitas para provokator tersebut. Sehingga, kita akan menyadari dengan betul. Bahwa antara pembangunan, perbaikan dan penyelesaian suatu persoalan. Semuanya tidak teratasi dan bahkan mengakibatkan keburukan.

Karena provokasi ini tidak bisa memperbaiki apa-pun. Karena fungsinya hanya merusak sesuatu yang mapan. Provokasi ini tidak bisa menyelesaikan suatu persoalan. Karena justru hanya menambah masalah. Bahkan, para aktor provokasi ini tidak bisa menciptakan sebuah pembangunan. Melainkan bangunan peradaban, perdamaian dan persatuan  bagi bangsa ini justru dihancurkan.            

Oleh karena itu, tegas kita pahami dan kita yakini. Bahwa kritik seyogianya harus konstruktif. Bukan provokatif. Karena dengan kritikan yang konstruktif, bangsa ini akan semakin banyak (supplement) perbaikan, penyelesaian persoalan dan pembangunan. Melalui aktivitas kritik sebagaimana power penting dalam demokrasi etis. Sedangkan provokasi, jelas hanya menghancurkan ketiganya. Mereka ini adalah penyebab dari kekacauan yang sebenarnya di negeri ini yang perlu kita basmi.

This post was last modified on 15 Juni 2021 3:29 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago