Narasi

Rahmah El-Yunusiah: Sang Perintis Sekolah Islam Perempuan di Indonesia

Sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh yang mengiringinya, baik tokoh laki-laki maupun tokoh perempuan seperti R.A  Kartini, Dewi Sartika, Raden Siti Jenab dan Rahmah El-Yunusiah. Nama terakhir mungkin tidak semasyhur tokoh yang lain, namun ia dikenal sebagai tokoh perintis sekolah Islam perempuan di bumi Nusantara.

Nama Rahmah El-Yunusiah mungkin terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia, meskipun begitu perjuangannya dalam dunia pendidikan tidak perlu diragukan lagi. Sebab, ia adalah tokoh pendiri Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, sebuah lembaga pendidikan Islam modern pertama di Indonesia yang diperuntukkan bagi kaum perempuan (Pesantren Putri).

Selain pendiri Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, Rahmah El-Yunusiah juga merupakan sosok yang mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatera Barat. Ia dengan tegas menyatakan siap menjamin seluruh perbekalan pasukan dan membantu pengadaan alat senjata mereka untuk berjuang membela tanah air.

Rahmah El-Yunusiah lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriah atau bertepatan dengan 20 Desember 1900 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan dan agamis. Ayahnya adalah Syekh M. Yunus, seorang ulama sekaligus qadi di daerahnya. Kakeknya, Imamuddin, adalah seorang ahli ilmu falak dan pemimpin tarekat Naqsabandiyah.

Sedangkan ibunya, Rafi’ah, merupakan keturunan ulama padang Panjang yang bernasab pada Mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Rahmah El-Yunusiah memiliki lima orang saudara dan yang paling terkenal adalah kakak tertuanya, yakni Zaenuddin Labai El-Yunusi, seorang ulama muda progresif Padang Panjang yang mendirikan Diniyah School (1915 M).

Terlahir dalam keluarga terdidik, Rahmah El-Yunusiah memiliki semangat juang tinggi dalam dunia pendidikan. Namun sayang, ia tidak sempat belajar intens kepada ayahnya karena beliau meninggal ketika ia masih anak-anak. Pendidikannya kemudian diorientasi oleh ibu dan kakaknya, Zainuddin Labay yang juga memiliki cita-cita tingi terkait dunia pendidikan.

Pada mulanya, Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan di Diniyah School yang dipimpin oleh kakaknya Zainuddin Labay. Akan tetapi selama mendapatkan pendidikan di sana, ia merasa tidak puas dengan ilmu yang diterima. Ia kemudian berinisiatif untuk belajar kepada seorang ulama besar Surau Jembatan Haji dan di pengajian Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka.

Pada kedua tempat tersebut, Rahmah El-Yunusiah dan tiga teman perempuannya, yakni Rasuna Said, Nasinah dan Jawana Basyir belajar bersama dengan murid lain yang mayoritasnya laki-laki. Menurut Hamka dalam bukunya, Ayahku, pada konteks ini Rahmah El-Yunusiah menjadi pelopor pendidikan agama bagi perempuan sebagaimana kaum laki-laki.

Di sana mereka mempelajari ilmu agama secara mendalam, mulai dari nahwu, saraf, fikih, ushul fikih, hingga tauhid. Dalam pembelajaran ini, Rahmah El-Yunusiah berguru kepada beberapa ulama ternama, yakni Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh M. Djamil Djambek dan Syekh Daud Rasyidi.

Selain belajar ilmu agama, Rahmah El-Yunusiah juga mempelajari ilmu kebidanan dengan mak tou-nya. Kemudian ilmu kebidanan ini ia perdalam dengan ilmu kesehatan dan tata cara merawat orang yang mendapat kecelakaan. Ia secara aktif belajar kepada beberapa dokter seperti dokter Sofyan dan dokter Tazar hingga mendapatkan izin praktik serta ijazah.

Tidak hanya sampai di situ, Rahmah El-Yunusiah turut mengembangkan dirinya dengan mempelajari gymnastiek dari seorang guru berkebangsaan Belanda bernama Nona Oliver. Ia juga menempa dirinya dengan berbagai soft skill seperti menenun, menjahit, memasak, berenang, dan publik speaking. Semuanya ilmunya ini di kemudian hari akan ia bagi kepada murid-muridnya.

Dengan bermodalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan semangat juang nan gigih untuk meningkatkan harkat martabat kaum perempuan, Rahmah El-Yunusiah lalu mulai mendirikan Diniyyah Puteri Padang Panjang melalui bantuan kakaknya dan murid-murid Diniyah School. Pada tanggal 1 November 1923, perguruan ini resmi berdiri dan masih berlangsung hingga saat ini.

Diniyyah Puteri Padang Panjang didirikan oleh Rahmah El-Yunusiah dengan cita-cita kaum wanita Indonesia harus memperoleh kesempatan penuh dalam menuntut ilmu agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan agar kaum wanita sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan tanah air.

Pada awalnya, murid-murid Diniyyah Puteri Padang Panjang mayoritas terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda. Pelajaran diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang. Di samping itu, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua.

Dalam menjalankan sekolahnya, Rahmah El-Yunusiah memiliki prinsip dan sikap yang teguh. Sebagai contoh, ketika Belanda menawarkan bantuan kepada Madrasah Diniyah Putri dengan syarat harus berada di bawah kekuasaannya, ia menolak dengan tegas. Dengan alasan tak ingin cita-cita dam sistem pendidikannya dibelokkan oleh Belanda.

Komitmen serta perjuangan Rahmah El-Yunusiah terhadap pendidikan kaum perempuan juga tak terbantahkan. Sebagai bukti, ketika gedung perguruannya diluluh-lantahkan oleh gempa dumia pada tahun 1926, ia lalu melakukan perjalanan ke luar Sumatera untuk mencari dana dan bantuan pembangunan kembali sekolah tersebut.

Dikisahkan bahwa ia bahkan sampai pergi ke Istana Sultan Penang, Selangor, Pahang dan Kedah demi memperjuangkan perguruannya. Di sana ia dengan giat mengajar putri-putri Istana dan sebagai timbal-baliknya ia mendapatkan kucuran dana segar untuk membangun kembali Diniyyah Puteri Padang Panjang yang dicintainya.

Dari biografi singkat Rahmah El-Yunusiah di atas, ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Salah satunya adalah semangat juang nan gigih dan pendirian yang kuat. Ia dengan segala keterbatasannya mampu menjadi sosok pelopor dunia pendidikan bagi perempuan. Hal ini dapat menjadi bahan renungan kita – penerus bangsa – yang memiliki berbagai kelebihan; sudahkah kita berkontribusi bagi negeri ini?

This post was last modified on 19 Juni 2021 10:53 PM

Muhammad Rafi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago