Narasi

Provokasi, Oposisi Destruktif dan Masa Depan Demokrasi Kita

Politics is a strong and slow boring of hard board. Demikian Max Weber pernah bernubuat. Politik itu seperti mengebor papan kayu. Cepat atau tidaknya papan itu bolong tergantung pada banyak hal. Tebal dan tipis kayu tentu berpengaruh. Ketajaman matapisau bor apalagi. Maka, mewujudkan cita-cita politik bukanlah hal yang instan. Ia butuh proses panjang, melelahkan dan kadangkala membosankan.

Proses panjang mewujudkan cita-cita politik demokrasi itu pula yang saat ini dialami bangsa Indonesia. Dalam milestone perjalanan bangsa, era sekarang bisa disebut sebagai era konsolidasi demokrasi. Pasca merdeka pada tahun 1945, lalu mengalami dua rezim kepemimpinan (Orde Lama dan Orde Baru), kini kita memasuki Orde Reformasi. Sebuah masa ketika demokrasi menjamin kebebasan dan supremasi sipil. Orde Reformasi juga kerap diidentikkan sebagai orde kebebasan dan keterbukaan.

Namun, sebagaimana galibnya kebebasan pastilah menyisakan residu persoalan. Antara lain ialah munculnya kelompok oposisi destruktif. Yakni kelompok sipil di luar pemerintahan yang menunjukkan sikap anti-kekuasaan dengan jalan menebar fitnah, kebohongan dan mengadu domba sesama masyarakat. Kelompok oposisi destruktif ini muncul sebagai konsekuensi lanjutan dari fenomena polarisasi politik yang mulai muncul sejak tahun 2014 hingga saat ini. Munculnya kelompok oposisi destruktif ini merupakan anomali dari demokrasi.

Bagaimana tidak? Seperti kita tahu, dalam sistem demokrasi Pancasila kita sebenarnya tidak mengenal istilah oposisi, apalagi yang bercorak destruktif. Sistem kekuasaan dan pemerintahan di dalam demokrasi Pancasila idealnya dijalankan sesuai falsafah musyawarah untuk mufakat. Pemenang Pemilu tidak lantas mendominasi kekuasaan (take all the power). Sebaliknya, demokrasi dijalankan dengan prinsip pembagian kekuasaan (power sharing). Pembagian kekuasaan ini tidak diartikan sebagai bagi-bagi jabatan, namun upaya melibatkan seluruh elemen bangsa dalam memajukan negara.

Apa yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2014 justru menunjukkan arah sebaliknya. Kekuatan oposisi destruktif kian kuat. Di saat yang sama, kekuatan pemerintah kian tergerus oleh maraknya hoaks dan provokasi. Menguatnya kekuatan oposisi destruktif ini dalam jangka pendek akan berpengaruh pada jalannya pemerintah. Kebijakan pemerintah rawan disalah-tafsirkan bahkan diganjal di tengah jalan oleh pelintiran isu. Dalam konteks jangka panjang, menguatnya oposisi destruktif ini akan berdampak negatif pada masa depan demokrasi kita.

Membangun Demokrasi, Membangun Masyarakat Sipil

Dalam rilis Freedom in the World 2018 oleh lembaga Freedom House, Indonesia dikategorikan sebagai negara partly free (sebagian bebas). Padahal, sebelumnya Indonesia dianggap sebagai negara paling akseleratif dalam membangun demokrasi. Indonesia dianggap berhasil mengubah tatanan otoritarianisme menjadi demokrasi hanya dalam waktu nisbi singkat. Namun, maraknya hoaks, kebencian berbasis SARA dan provokasi menyebabkan indeks demokrasi Indonesia menurun. Kita pun terancam menjadi negara dengan kategori flawed democracy (demokrasi cacat).  

Membangun demokrasi tidak bisa dilakukan tanpa membangun masyarakat sipil yang berkarakter kritis namun tetap mengedepakan akal sehat dan etika dalam menyampaikan kritiknya. Inilah ciri masyarakat madani alias masyarakat yang berkeadaban. Masyarakat yang merespons setiap kebijakan pemerintah dengan nalar obyektif. Setiap kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kemajuan bangsa wajib didukung. Sebaliknya, hal-hal yang kurang dari pemerintah kiranya bisa diperbaiki bersama-sama tanpa menimbulkan kegaduhan apalagi perpecahan.

Masa depan demokrasi kita tergantung pada upaya kita mengonsolidasikan kekuatan masyarakat sipil. Termasuk salah satunya membudayakan kritik santun dan beretika. Publik perlu memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan kritiknya pada pemerintah ke dalam mekanisme yang elegan dan jauh dari nuansa provokatif. Terlebih dalam konteks sekarang dimana opini dan kritik lebih kerap diamplifikasi melalui media sosial. Di media sosial, kritik berbalut provokasi kerap bergulir liar dan nisbi sulit dikendalikan.

Bisa dibilang, saat ini kita tengah mengalami masa transisi dari era otoriter ke demokrasi yang lebih mapan. Tentu wajar jika era transisi itu diwarnai oleh sejumlah residu persoalan. Provokasi, hoaks dan kebencian hanyalah fenomena gunung es dari residu demokrasi yang hingga saat ini belum terselesaikan. Tugas utama kita sebagai masyarakat sipil ialah senantiasa membangun demokrasi melalui kritik yang sehat. Yakni kritik yang didasari fakta dan analisa yang kuat serta disampaikan dengan cara yang elegan.

This post was last modified on 15 Juni 2021 3:26 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago