Menurut Haula Noor (2021) dari Australian National University, di tengarai kaum perempuan telah ikut terlibat aktif dalam gerakan dan aksi jihad-terorisme sejak Abad ke-19, dan mereka telah memainkan peran aktif dalam konteks terorisme global mulai dari tahun 1970-an.
Keterlibatan perempuan dalam jihad-terorisme itu terjadi karena ada pergeseran pola dalam gerakan jihad-terorisme yang membolehkan keterlibatan perempuan. Di wal perkembangannya, jaringan al-Qaeda melarang partisipasi perempuan dalam gerakan jihad-terorisme.
Namun, pandangan ini berubah seiring waktu dan kondisi. Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, secara positif mengakui kontribusi perempuan dalam perjuangan jihad, karena melahirkan generasi pejuang baru dan memberikan dukungan kepada suami-suami pejuang.
Pada tahun 2005, Abu Mus’ab Az-Zarqawi, pemimpin al-Qaeda asal Yordania, memperbolehkan perempuan untuk ikut serta dalam pertempuran dengan senjata. Tujuan utamanya adalah untuk merendahkan kaum pria yang menolak berpartisipasi dalam jihad-terorisme (Haula Noor, 2021).
Sejak saat itu, penggunaan perempuan dalam taktik bom bunuh diri mengalami evolusi signifikan. Organisasi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) juga mengalami perubahan dalam pendekatan mereka. Pada tahun 2006, mereka bersikeras bahwa jihad adalah tanggung jawab eksklusif pria.
Namun, sikap ini berubah seiring kemunduran dan kehilangan wilayah oleh ISIS. Pada tahun 2017, organisasi tersebut menyatakan bahwa perempuan Muslim harus turut serta dalam perang sebagai pendamping para pejuang, dan mereka dapat memberikan kontribusi melalui berbagai cara.
Pada tahun 2015 di Indonesia, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang mendukung ISIS, mendorong anggota yang tidak dapat berangkat ke Suriah untuk ikut serta dalam jihad di Indonesia. Bagi perempuan, seruan ini memberikan legitimasi dalam aksi terorisme.
Transformasi dari peran sebagai pendukung menjadi pelaku aktif merupakan tantangan serius yang perlu ditangani dengan pendekatan yang bijak dan komprehensif. Bagaimana cara mengatasi perubahan ini dan mencegah terorisme perempuan agar tidak berkembang lebih jauh?
Pertama-tama, untuk mengatasi terorisme perempuan, penting bagi pemerintah dan lembaga keamanan untuk memahami faktor-faktor yang mendorong perubahan peran ini. Faktor ideologis, sosial, dan psikologis semuanya mempengaruhi partisipasi perempuan dalam terorisme.
Oleh karena itu, pendekatan pencegahan harus mencakup pendidikan dan peningkatan kesadaran mengenai bahaya ekstremisme serta narasi-narasi ideologis yang digunakan untuk merekrut perempuan.
Kedua, perlu ditekankan bahwa rehabilitasi dan deradikalisasi perempuan yang terlibat dalam terorisme harus menjadi fokus utama. Pendekatan ini memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong keterlibatan mereka, termasuk trauma, isolasi sosial, atau ketidakpuasan terhadap peran dalam masyarakat.
Program-program rehabilitasi harus menawarkan dukungan psikologis, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kesempatan ekonomi untuk membantu perempuan membangun kembali kehidupan yang positif.
Selain itu, mengatasi terorisme perempuan juga melibatkan peran masyarakat sipil, terutama keluarga dan komunitas lokal. Masyarakat memiliki peran penting dalam mendeteksi perubahan perilaku dan tanda-tanda radikalisasi pada perempuan di sekitar mereka.
Kampanye kesadaran dan pendidikan masyarakat dapat membantu mengidentifikasi potensi rekrutan teroris dan memberikan dukungan kepada keluarga untuk mencegah radikalisasi lebih lanjut.
Tidak kalah pentingnya adalah perlunya mengatasi faktor sosial yang mendorong perempuan untuk terlibat dalam terorisme. Kesetaraan gender, pendidikan yang inklusif, dan peluang ekonomi yang lebih baik dapat membantu mengurangi tekanan sosial dan isolasi yang dapat memicu perempuan untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan dan pemberdayaan perempuan adalah langkah penting dalam mengatasi akar penyebab terorisme perempuan. Lebih lanjut, upaya ini bisa juga didukung dengan kerjasama internasional dan pertukaran informasi antara negara-negara dalam menghadapi ancaman terorisme perempuan.
Kelompok teroris sering kali beroperasi lintas batas, dan informasi tentang modus operandi mereka dapat membantu negara-negara dalam melawan upaya rekrutmen dan perencanaan aksi terorisme perempuan.
Dengan pendekatan holistik semacam itu, dari kerja sama internasional, dan fokus pada pencegahan, deradikalisasi, serta pemberdayaan, kita dapat bergerak menuju dunia yang lebih aman dan inklusif, di mana terorisme perempuan tidak lagi memiliki tempat.
This post was last modified on 1 September 2023 1:49 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…