Narasi

Membaca Pesan Damai Pertemuan Paus dan Ayatullah Ali Al-Sistani

Salah satu kunjungan Paus Fransiskus  ke Irak (5/3/21)  yang cukup mendapat sorotan adalah pertemuan Paus dengan Ayatullah Ali Al-Sistani, salah satu pemuka agama yang sangat dihormati bukan hanya di Irak, melainkan juga Timur Tengah secara umum. Pertemuan itu terjadi Najaf, kota suci umat Syiah.

Kunjungan Paus ini menarik kearena ini adalah simbol pertemuan dua tokoh besar. Paus adalah rujukan bagi umat Katolik. Sementara Ayatullah Sistani adalah rujukan bagi umat syiah. Selain itu, perjumpaan ini adalah kelanjutan dari “cita-cita” perdamaian yang sudah dideklarasikan sebelumnya secara besar-besaran di Abu Dabi, Uni Emirat Arab.

Kita tahu bersama, Paus Fransiskus dan Grand Syaikh Al-Azhar pernah bertemu dan hasil pertemuan itu menghasilkan akan perlunya membuat pertemuan besar sebagai simbol persaudaraan antar agama. Itulah Deklarasi Perdamaian yang disuarakan oleh tokoh-tokoh agama dunia di Abu Dabi, yang salah satu wakil dari Indonesia adalah Quraish Shihab.

Pertemuan Paus Fransiskus dan Ayatollah Sistani merupakan upaya untuk tetap merawat perdamaian. Ia sangat dinantikan sebagai simbol persaudaraan antar umat beragama di Timur Tengah.  Salah satu alasan mengapa ulama kelahiran Iran itu yang dikinjungi adalah sebab ia mempunyai  pengaruh besar dan selalu menjaga jarak dari pusat kekuasaan di Baghdad. Bahkan bagi sebagian kalangan, Ayatullah Sistani melambangkan Irak, melebihi para pemimpin Irak sendiri.

Tujuan utama Sri Paus menyambangi rumah sederhana al-Sistani di Najaf, selain membawa misi damai, Paus juga berkeinginan agar agar sang mujtahid itu ikut menandatangani deklarasi “persahabatan manusia” yang mengecam ekstremisme.

Nota Kesepahaman

Di tengah arus corok keberagamaan yang ekstrim saat ini, perjuampaan kedua tokoh dunia itu bagaikan siriman hujan yang selalu dinantikan di tengah situasi iklim panas dan keringnya tanah. Hujan itu diharapkan bisa menyuburkan tanah persahabatan kita dan mengembalikan iklim persaudaraan yang selama ini kita rajut.

Merajut persaudaaran –dalam level apa pun –kunci utamanya adalah adanya kesepahaman. Kesepahaman di sini bukan maksudnya menyeregamkan pemahaman yang berbeda menjadi satu paham; atau memaksa orang lain supaya memahami bahwa pemahaman sayalah yan harus jadi patokan.

Kesepahaman di sini maksudnya adalah pengakuan tulus dari segenap anggota umat beragama bahwa perdamaian adalah nilai yang harus dijadikan pegangan bersama. Damai adalah kunci. Ia ibarat standar universal.

Jika ada tindakan yang mengatasnamakan agama justru merusak nilai perdamaian, maka tindakan itu bukanlah cerminan agama.  Apa pun yang bertolak belakang dengan nilai perdamaian, maka ia harus dilawan secara bersama-sama.

Adanya kesepahaman adalah titik awal  untuk melangkah ke arah yang lebih serius, yakni “pemberdayaan”, baik itu bersifat aktif maupun passif. Bersifat aktif di sini maksudnya ada upaya yang terus menerus untuk menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam laku kehidupan umat beragama dan selalu besikap pro-aktif menangkal segala usaha yang merusak perdamaian.

Sementara bersifat passif adalah tindakan yang kalau tidak bisa memberikan kegembiraan kepada orang lain, setidaknya jangan menyakiti orang lain. Adanya pemberdayaan –baik aktif maupun passif –antara/antar umat beragama inilah yang disebut sebagai toleransi.

Kemanusiaan

Lantas apa paradigma yang digunakan untuk merawat perdamaian itu? Tak lain adalah kemanusian. Setiap orang harus meletakkan orang di luar dirinya sebagai manusia. Manusia yang mempunyai harga diri, hak yang harus dihormati. Manusia dalam segala komplesitasnya.

Meminjam bahasa agama, manusia itu bukan malaikat, ia bisa salah. Maka ketika salah harus dirangkul. Sekaligus, manusia itu bukan setan, salah terus, ia mempunyai nurani dan akal sebagai sarana untuk berbuat baik. Maka ketika dia berbuat baik, jaga dia agar tetap bisa berbuat baik.

Dalam bahasa yang sederhana, kemanusiaan itu adalah memanusiakan manusia. Jangan pandang dia sebagai malaikat, yang ketika dia berbuat salah, kamu akan melaknatnya. Sekaligus jangan pandang dia sebagai setan, yang ketika ia berbuat baik, kamu tidak percaya. Pandalah dia sebagai manusia dengan segala kompelekitasnya. Perjumapaan kedua tokoh besar itu, saya kira adalah upaya untuk menyebarkan nota kesepahaman dengan menjadikan kemanusiaan sebagai kacamata dalam bergaul. Mari kita sambut dengan riang perjuampaan itu.

This post was last modified on 9 Maret 2021 2:05 PM

Nur Atikah Rahmy

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

18 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

18 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

18 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

19 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

2 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

2 hari ago