Kematian Santoso, gembong teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), di tangan aparat beberapa minggu lalu ditanggapi berbeda oleh masyarakat. Ada yang menyebutkan bahwa terbunuhnya Santoso merupakan keberhasilan Kapolri yang baru saja dilantik, Tito Karnavian. Diketahui secara umum, Kapolri saat ini memang getol memburu teroris. Beberapa kasus teroris tidak hanya dibongkar kedoknya tapi juga ditangkap dan bahkan ada yang tertembak. Terbunuhnya Santoso, menurut beberapa kalangan ditengarai tidak lepas dari kiprah dari Kapolri tersebut. Mengingat Tito merupakan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Tentu wajar jika jejak pelarian Santoso mudah ditemukan.
Dan, atas keberhasilan itu masyarakat yang selama ini dihantui rasa takut akan serangan bom bisa sedikit bergembira. Andai media massa sebuah ruangan tentu tepuk tangan akan gempita atas kematian Santoso ini. Pujian dan syukuran atas kematian Santoso tidak hanya bisa dimaknai dari aspek kegembiraan semata namun juga betapa masyarakat telah lama mendambakan hadirnya indonesia yang damai dan bebas dari ancaman khususnya kasus terorisme. Hilangnya terorisme laksana rekahan tanah yang mendamba hujan. Kematian Santoso memang rintik tapi tetap mampu membasahi kerongkongan sebuah harapan.
Namun di sudut yang berbeda kematian Santoso merupakan masa berkabung. Luka karena perjuangan “fi sabilillah” sempat terkoyak. Sebuah perang yang konon dipahami sebagai perang melawan orang-orang kafir. Sehingga kematian pun didamba sebagai bentuk syahid yang dijanjikan surga. Namun tak sampai disitu, disela isak tangis atas tewasnya sang pejuang, mereka masih tetap melakukan perlawanan. Bentuknya? Menyebarkan berita tentang aroma mayat Santoso.
Di beberapa media yang para teroris buat, Santoso disebut sebagai sosok yang santun dan ramah. Sehingga masyarakat muslim Poso, konon, merasa berterima kasih atas hadirnya Santoso. Namun orang waras pun mengerti bahwa berita soal santoso yang santun dan ramah ini pada hakekatnya bohong belaka. Lalu mengapa mereka melakukan kebohongan seputar masyarakat Poso terkait dengan Santoso? Bukankah mereka ahli agama dan artinya mereka tahu bahwa berbohong itu dibenci dalam Islam? Memang tidak mudah menjawabnya.
Namun yang perlu dijelaskan bahwa kematian Santoso berikut berita-berita seputar mayatnya tidak tepat jika dimaknai sebagai penyakit media massa. Terlalu nihil analisa jika aroma mayat Santoso dimaknai bahwa masyarakat mempercayai tahayyul atau mitos. Menurut saya, berita-berita itu adalah pesan atau tanda bahwa sebuah perlawanan akan terus berlanjut. Setidaknya ada dua kata yang bisa dianalisa dalam berita tersebut; wangi dan berkeringat. Dua kata ini tentu tidak dibuat oleh orang bodoh yang tidak mengerti strategi. Dalam dunia mileter setiap kata adalah sandi. Mari kita lihat.
WANGI. Dalam bahasa sandi pada biasanya sebuah makna tidak terlalu jauh dari kata aslinya walau tidak secara gamblang sama. Karena itu, wewangian bisa dimaknai sebagai aroma yang disukai banyak orang. Tidak ada pasar yang tidak ada toko pasrfumnya. Ini karena setiap orang mendamba aroma. Begitu juga soal mayat Santoso. Bahwa kematiannya akan membuat banyak orang terpikat pada ideologinya. Artinya, rekrutmen teroris akan terus berlanjut dengan berbagai tebaran janji dan harapan khususnya soal surga sebagaimana biasa. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dikatakan mantan Kapolri Bahruddin Haiti bahwa di Indonesia tidak sedikit orang yang sudah termakan ideologi ISIS. Rekrutmen anggota baru merupakan jalan untuk menumbuhkan teroris-teroris baru.
KERINGAT. Keringat biasanya diidentikkan dengan perjuangan dan jerih payah. Ini artinya apa yang mereka lakukan tidak hanya sekedar mengangkat senjata tapi juga ada jihad yang konon diartikan sebagai bersungguh-sungguh itu. Bahwa kerja-kerja terorisme, selelah dan setakut apapun itu, akan terus dilanjutkan. Melawan dalam senyap atau terang-terangan laksana hadirnyaa keringat dingin dan keringat panas dalam setiap tubuh manusia. Strategi dan pemahaman soal objek sasaran tembak diperhitungkan secara matang. Ini soal keringat.
Oleh karena itu, penting kiranya masyarakat ikut serta bahu membahu dalam menanggulangi rekrutmen, paham, dan aksi teroris ini. Tanpa dibarengi dengan kiprah aktif dari masyarakat, kepolisian dan BNPT tentu tidak terlalu banyak memberikan dampak. Kemampuan Kapolri membunuh Santoso boleh dibanggakan tetapi harus dibarengi dengan kiprah aktif masyarakat. Karena paham terorisme tidak masuk melalui pintu terbuka melainkan dari jendela hati yang kemudian mengakar kuat hingga mencipta ledakan. Terorisme adalah kanker yang tidak mudah dideteksi gejala dan penularannya. Hanya dengan kebersamaan dan kekompakan masyarakat terorisme bisa ditumpas hingga ke akar-akarnya. Bukankah damai adalah dambaan kita semua? Mari saling menjaga diri dari kanker terorisme.
This post was last modified on 29 Juli 2016 10:20 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…