Di sebuah kamar asrama sekolah menengah atas di bilangan Caringin, di kaki Gunung Salak, Bogor terjadilah sebuah dialog berikut;
“Lian, terima kasih ya kamu tadi pagi membangunkan saya untuk shalat tahajjud dan subuh”, kata Irul pagi-pagi ketika mau berangkat ke kelas.
Lian menimpali dengan muka tersenyum sambil berujar, “ya Rul sama-sama, terima kasih juga kamu telah mengingatkanku kemarin malam waktu acara kebaktian mingguan di balai Beringin, kalau tidak aku bisa kebablasan tidur”.
Di lain kesempatan di hari Sabtu sore, Gede yang berasal dari Bali menyahut, “tadi pagi untung kamu bangunkan aku Niel, kalau tidak aku bisa ditinggal oleh teman-teman untuk berangkat ke Pura”, demikian kata Gede kepada Nataniel.
Itulah salah cuplikan gambaran kehidupan sehari-hari yang pernah saya alami ketika saya berkesempatan menemani dan membimbing anak-anak asrama sekolah menengah di Bogor.
Percakapan antara Lian yang beragama Kristen Protestan, Irul yang beragama Islam, Gede yang beragama Hindu, dan Nataniel yang beragama Kristen Katolik seperti dialog di atas mengingatkan saya akan kata-kata bijak Mahatma Gandhi, bahwa mengenal dan mempelajari agama-agama secara ramah dan tulus merupakan sebuah tugas suci untuk melahirkan rasa hormat menghormati dan saling menghargai antar pemeluk agama,
“if we are to respect others’ religions as we would have them respect our own, a friendly study of the world’s religions is a sacred duty”, demikian Mahatma Gandhi mengajarkan. Tugas suci untuk menjaga kehamonisan antar umat bergama di negeri ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemuka agama; rohaniawan, kyai, biksu, maupun pendeta. Akan tetapi menjadi tugas bersama terutama para pendidik di sekolah.
Pengalaman mengajar anak-anak remaja yang benar-benar multikultur secara etnis, bahasa dan agama menyadarkan saya bahwa proses pendidikan berwawasan multikultural akan berhasil dengan baik jika anak didik kita diajak untuk mengalami sendiri hidup berdampingan dengan orang yang berbeda (suku, bahasa, dan agama), bukan hanya melalui pemahaman kognitif-toeritis yang ada di dalam buku pelajaran, tetapi dalam kehidupan nyata.
Pengalaman seorang anak remaja yang tumbuh dalam suasana keragaman dan perbedaan akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling menghargai yang timbul dari semangat berbagi dan saling mengisi, bukan dari rasa benci ataupun iri dengki.
Proses internalisasi pendidikan budi pekerti dan pembangunan karakter akan tertanam dalam kepribadian seorang anak jika mereka benar-benar bisa merasakan sendiri arti sebuah perbedaan, seehingga kedepannya mereka tidak mudah untuk menyalahkan orang lain.
Itulah esensi pendidikan multikultural, yaitu proses pendidikan yang berlangsung melalui saling mengenal antar etnis, budaya, bahasa, dan agama (how to know), bagaimana melakukan dan bersikap terhadap perbedaan (how to do), bagaimana hidup bersama dalam perbedaan (how to live together), dan bagaimana menjadi pribadi mandiri dan berkarakter (how to be) dalam merawat dan menjaga keharmonisan di negeri ini.
Untuk memperteguh kesadaran dan menginspirasi generasi muda Indonesia agar senantiasa merawat dan menjaga kekayaan keragaman Nusantara, saya kemudian mencoba agar pengalaman hidup berdampingan dengan teman-teman yang berbeda etnis, budaya, agama, dan bahasa yang mereka rasakan bisa dituliskan menjadi tugas jurnal yang harus dikumpulkan di akhir semester.
Pengalaman reflektif mereka sungguh luar biasa! membaca tulisan mereka membuat saya seakan dibawa terbang berkeliling Nusantara; menyaksikan keindahan “Pita Burung Garuda”, dan menghayati arti sejati dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tulisan mereka akhirnya diterbitkan dengan judul, “Membentang Pita Garuda: Pengalaman Reflektif Memaknai Nilai-nilai Keindonesiaan”.
Dari pengalaman dan tulisan reflektif mereka, saya banyak belajar bahwa memupuk rasa dan sikap menghargai orang lain yang berbeda akan lebih merasuk dan tertanam dalam pikiran dan hati jika kita telah pernah merasakan dan mengalami langsung hidup berdampingan dengan orang yang berbeda baik secara etnis, bahasa dan agama. Kedamaian dunia akan tercipta jika masing-masing individu mampu menghayati diri dengan hati nurani bahwa kebenaran imani akan datang jika hati mampu menerima dan menghargai kehadiran (existence) orang lain; karena hakikat hidup kita sejatinya akan bermakna jika kita mampu memposisikan diri sebagai “co-existence” bagi orang lain.
“If there is righteosness in the heart, there will be beauty in the character. If there is beauty in the character, there will be harmony in the home. If there is harmony in the home, there will be order in the nations. When there is order in the nations, there will peace in the world”. (Jika kebenaran telah terpatri dalam hati, akan tumbuh kecantikan karakter diri. Jika karakter diri cantik, maka akan lahir keharmonisan di dalam rumah. Jika keharmonisan dalam rumah sudah tercipta, sebuah negara akan tertata dengan baik. Jika setiap negara tertata dengan baik, maka akan lahir kedamaian dunia). Demikian Confucius mengajarkan kepada kita bagaimana membangun kedamaian dunia.
This post was last modified on 27 Mei 2015 2:04 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…