Narasi

Membekukan Gerakan Radikal dengan UU Terorisme

Puncak kebiadaban yang dipertontonkan kelompok teroris harus segera dihentikan. Mereka tidak boleh lagi diberi angin segar untuk melakukan kekerasan yang menihilkan kemanusiaan. Setiap mahluk hidup harus dihormati dan dihargai. Tidak boleh ada upaya untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan dalih apapun. Apalagi atas nama tuhan dan agama. Menjadi semakin berbahaya saat kelompok teroris terus mengajak orang lain agar setuju dan melakukan aksi teror yang sama. Surga dijadikan seolah dijanjikan untuk mereka. Padahal tuhan sangatlah murka terhadap siapapun yang mengambil nyawa orang lain dengan serampangan. Oleh dari ini, upaya menghilangkan individu/kelompok teroris harus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Dengan melibatkan seluruh komponen bangsa ini.

Salah satu hal yang dilakukan adalah memperkuat undang-undang tentang terorisme. Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme akhirnya disetujui dan disahkan menjadi UU. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati hal tersebut dalam Rapat  Paripurna yang digelar pada Jumat (25/5/2018). Seperti dibacakan oleh Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i, berdasarkan UU terbaru, tercakup penjelasan bahwa “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal,, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”(www.bbc.com).

Undang-undang terorisme yang baru merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya. Beberapa kelemahan dalam menanggulangi tindak terorisme disempurnakan melalui undang-undang ini. Salah satunya terkait pencegahan sebelum terjadi tindakan teror. Selama ini, aparat keamanan tidak bisa menjerat seseorang yang terlibat dalam kelompok teror selama orang tersebut belum melakukan tindakan teror. Akibatnya, kelompok-kelompok teroris dapat melakukan perekrutan dan kaderisasi secara lebih leluasa. Dengan hadirnya undang-undang ini, makakelompok teroris dapat melakukan perekrutan dan kaderisasi secara lebih leluasa. Dengan hadirnya undang-undang ini, maka mereka yang bergabung dan berafiliasi dengan kelompok teroris bisa langsung diamankan. Misalnya kelompok JAD yang berafiliasi dengan ISIS atau kelompok lain yang memiliki koneksi dengan al-Qaeda.

Termasuk yang diatur dalam undang-undang ini mereka yang melakukan pelatihan militer atau paramiliter -baik di dalam ataupun luar negeri-, dengan maksud ingin melakukan aksi teror, dapat segera dilakukan pengamanan. Sebagai contoh, cukup banyak WNI yang berangkat ke negera yang sedang berkonflik. Seperti negara-negara yang menjadi basis ISIS. Di sana, mereka menjadi kombatan sekaligus belajar tentang strategi berperang. Hasil yang didapatkan kemudian dipraktekkan melalui aksi-aksi teror. Individu maupun kelompok semacam ini sangatlah berbahaya. Jika dibiarkan dan lengah, mereka berpotensi melakukan kekerasan dan teror.  Hadirnya undang-undang terorisme memungkinkan aparat penegak hukum untuk mengamankan mereka. Tujuannya agar mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan aksi terornya.

Orang-orang yang melakukan perekrutan dan mempropagandakan gerakan teror pun diatur dalam undang-undang ini. Mereka yang mengajak dan membenarkan tindakan terorisme akan berhadapan dengan aparat kepolisian. Masyarakat pun harus waspada. Jangan sampai ikut-ikutan menyebarkan dukungan  kepada kelompok teror. Apalagi kelompok teroris mahir menggunakan propaganda di dunia maya. Jika tidak hati-hati, masyarakat bisa terjebak dalam pengaruh mereka dan akhirnya menjadi pendukungnya. Termasuk untuk tidak menbagikan video-video aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris. Dukungan-dukungan tidak langsung bagi aksi teror harus dihentikan. Sebab akan membuat gerakan terorisme seolah mendapat angin segar karena merasa ada yang mendukungnya.

Spirit perlawanan semesta melawan terorisme terlihat dalam undang-undang ini. Terutama tentang pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme. Tugas TNI dalam menanggulangi terorisme merupakan bagian dari operasi militer yang dilakukan selain perang. Agar semakin efektif, maka ketentuan pelaksanaan aksi melawan terorisme akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Tentu, konsep perlawanan semesta pun harus dilakukan oleh masyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk membendung dan menjadikan terorisme sebagai fosil sejarah. Misalnya melakukan upaya kontra narasi gerakan teror, berpartisipasi dalam kegiatan deradikalisasi. Termasuk didalamnya menjaga orang-orang terdekat agar tidak terkena wabah ideologi teror.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

18 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

19 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

19 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

19 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago