Diketuknya palu persidangan oleh DPR untuk mengesahkan UU Antiterorisme menjadi babak baru pemberantas terorisme di Indonesia. Hal ini untuk merespon desakan masyarakat yang menilai bahwa aksi terorisme di tanah air kian mengkhawatirkan. Terutama, setelah kericuhan di Mako Brimob dan rentetan bom bunuh diri di Surabaya dan sekitarnya, semakin menyadarkan masyarakat betapa bahayanya aksi terorisme. Sehingga, diperlukan payung hukum untuk menindak aksi terorisme, bahkan lebih pentingnya lagi, mencegah supaya tidak terjadi aksi-aksi tersebut.
Mengingat dampaknya, terorisme masuk ke dalam kejahatan luar biasa, selain korupsi dan narkoba. Dalam menanganinya pun butuh proses yang panjang. Pasalnya, aksi teror di berbagai daerah, baik itu bom bunuh diri maupun ancaman lainnya, bukanlah aksi sembarangan. Meski telah banyak pelaku teror yang tertangkap dan jaringan terorisme yang terbongkar, namun seakan-akan terorisme belum menunjukkan tanda-tanda senjakalanya. Seakan-akan, kian hari kian mengkhawatirkan, dan paham terorisme kian menyebar bak jamur di musim hujan.
Media sosial juga menyediakan ladang basah persemaian benih-benih terorisme. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Dita Siska Millenia, siswa kelas XII di salah satu pondok pesantren di Kendal, Jawa Tengah. Bersama Siska Nur Azizah, ia ditangkap polisi di depan kantor Brimob, Depok. Keduanya mengaku datang ke Mako Brimob untuk membantu tahanan teroris yang berontak dan menewaskan lima polisi dan satu tahanan.
Dalam wawancaranya dengan Tempo, Dita diketahui berkenalan dengan paham radikalisme-terorisme dari media sosial, yaitu grup whatsApp dan Telegram. Ia mengaku kerap menonton video penyembelihan orang yang dishare di grup tersebut. Karena terlampau sering, ia akhirnya terbiasa dan tidak merasa takut melihat adegan tersebut.
Lebih lanjut, Dita juga disuguhi dengan artikel-artikel ‘islami’ yang menyeru untuk berjihad. Ia juga sempat membaca bukunya Imam Samudra, pelaku bom bali, dan menyimpulkan bahwa melakukan aksi bom bunuh diri itu diperbolehkan, selama aspek keuntungan lebih besar daripada kerugian. Yang dimaksud keuntungan lebih besar adalah ketika bom bunuh diri tersebut ditujukan kepada orang-orang kafir, maka mengorbankan nyawa menjadi tindakan yang heroik.
Maka dari itu, melalui UU Antiterorisme, pemerintah diharapkan bisa menangani terorisme bukan hanya pasca kejadian. Melainkan, juga bisa mencegah aksi tersebut, seperti meninjau organisasi-organisasi yang terindikasi simpati dengan terorisme (pasal 12A), ataupun perseorangan yang memiliki afiliasi dengan organisasi teroris (13A).
Namun, perlu disadari pula bahwa dalam menangani terorisme, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Perlu adanya keterlibatan dengan masyarakat sipil. Sebagaimana yang dilakukan Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) yang merangkul ormas Islam Muhammadiyah dan NU untuk melakukan pembinaan kepada napi terorisme. (tirto.id) Karena disadari pula, bahwa bukan hanya pelaku pengeboman atau terror saja yang berpotensi membahayakan kedaulatan Negara dan keamanan bangsa, tapi juga keluarga napi dan lingkungan yang simpati dengan paham terorisme.
Kenapa penting merangkul masyarakat sipil, utamanya mereka yang tergabung dalam ormas Islam yang moderat? Karena, terorisme hari ini kerap didorong oleh motif agama, dan bermula dari ‘salah tafsir’ atas teks agama. Kata jihad, misalnya, yang mestinya bermakna luas jadi dipersempit sebatas mengangkat pedang dan menebas leher-leher kafir. Melilitkan bom di tubuh lalu meledakkan diri di kerumunan orang banyak atau tempat ibadah pemeluk agama lain.
Benar yang dikatakan Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan pada 1994-1999, bahwa manusia perlu belajar untuk membenci. Karena bisa belajar membenci, berarti bisa diajari mencintai. Ia juga mengatakan bahwa belajar mencintai jauh lebih mudah ketimbang membenci, karena mencintai adalah sifat alamiah manusia.
Melalui UU Antiteroris ini, semoga pemerintah dan masyarakat sipil bisa bersama-sama merangkul teroris dan keluarganya untuk belajar mencintai. Bahwa secara kodrati manusia dilahirkan berbeda-beda, pun dengan ideology dan keyakinan yang dianut. Sebagai warga Indonesia dan dunia, kita wajib merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…