Narasi

Membersihkan Medsos dari Ujaran Kebencian

Salah satu penumpang gelap dari kehadiran media sosial adalah hate speech. Ujaran kebencian ini semakin digandrungi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Mereka tidak sadar, bahwa ujaran kebencian bisa menjadi candu yang meracuni akal sehatnya. Kabut gelap kebohongan, yang kerap melekat pada postingan ujaran kebencian, menyebabkan seseorang terjebak dalam jeratan dusta. Tidak bisa membedakan antara realita dengan khayalan. Hidupnya pun akan dipenuhi dengan beragam ketakutan yang diakibatkan propaganda ujaran kebencian. Seperti bahaya kelompok lain, ancaman golongan tertentu, dsb. Padahal berbagai hal tersebut hanyalah narasi yang diproduksi para penyebar ujaran kebencian untuk membodohi otak kita. Maka, percaya dengan postingan ujaran kebencian sama saja menurunkan derajat manusia sebagai mahluk yang kritis dan selalu mempertanyakan sesuatu.

Ujaran kebencian pun tidak hanya berbahaya bagi mereka yang mengkonsumsinya. Melainkan bagi pihak lain yang menjadi saaran fitnah. Artinya ada banyak efek negatif akibat ujaran kebencian. Maka, tidak selayaknya kita, sebagai manusia yang bermartabat, mempercayai dan ikut-ikutan menyebar ujaran kebencian. Kita pun harus berusaha agar media sosial bisa disterilkan dari ucapan yang tidak bermanfaat tersebut.

Martin Gitlin (2017: 14-15), dalam Why is Free Speech Hate Speech, menyatakan ujaran kebencian mempunyai efek serius bagi targetnya. Kebencian yang berlangsung lama akan membatasi peluang pihak lain, mendorong dalam jurang kesengsaraan, mengisolasi secara sosial, menyebabkan depresi atau disfungsi, menginkatkan risiko konflik dengan kekejaman, dan membahayakan kesehatan fisik dan keselamatan orang lain. Penulis buku ini kemudian menceritakan, pada tahun 1990, Mahkamah Agung Kanada menyatakan bahwa ucapan kebencian dapat menyebabkan hilangnya harga diri, perasaan marah, dan tekanan kuat untuk meninggalkan perbedaan budaya yang menyebabkan mereka berbeda. Pengadilan pun menyetujui bahwa propaganda kebencian bisa menyakinkan para pendengarnya bahwa kelompok rasial atau agama tertentu lebih rendah. Hal ini dapat meningkatkan tindakan diskriminasi. Termasuk penolakan atas kesempatan yang sama, bahkan dapat menyebabkan kekerasan.

Untuk menjadikan media sosial terbesar dari hate speech, strategi untuk membersihkannya adalah:

Pertama, pengguna medsos harus peka dan mampu membedakan antara kebebasan berpendapat dengan ujaran kebencian. Keduanya merupakan dua hal yang jauh berbeda. Kebebasan perpendapat harus memperhatikan norma-norma yang berlaku. Sehingga tidak asal bunyi. Seseorang bebas mengkritik pihak lain, tetapi tidak boleh kritik tersebut disertai dengan kebencian. Apalagi jika kebencian tersebut diarahkan untuk menyakiti pihak lain (seperti ajakan melakukan persekusi). Saat seseorang mengetahui bahwa suatu postingan mengandung ujaran kebencian, maka tidak akan digubris. Sebaliknya, jika tidak mengetahuinya, seseorang akan mudah mempercayai dan menyebarkannya kepada orang lain. Sirkulasi ujaran kebencian ini yang berbahaya bagi ketertiban masyarakat.

Baca juga : Cerdas Ber-Medsos: Bersihkan Kebencian di Ruang Maya

Kedua, orang-orang yang sudah memiliki literasi digital yang baik, tidak boleh diam saat melihat berbagai ujaran kebencian di medsos. Banyak didapati, orang enggan mengomentari/menyanggah/mengklarifikasi postingan ujaran kebencian karena dirasa postingan tersebut tidak bermanfaat. Orang tersebut menganggap ujaran kebencian akan meredup jika dibiarkan. Pandangan seperti ini perlu diluruskan. Fenomena yang terjadi, masyarakat tetap gemar dengan postingan ujaran kebencian. Maka, jika dibiarkan, justru akan membesar dan menyebar. Mulai sekarang, ketika mendapati ada informasi yang mengarah pada ujaran kebencian, wajib dihentikan. Minimal ditanggapi bahwa postingan tersebut berbahaya karena mengajarkan kebencian. Kita pun tidak perlu khawatir akan dianggap sok moralis. Sebab yang kita lakukan adalah menjaga agar masyarakat tetap berada dalam ketenangan.

Ketiga, membuat tandingan berupa postingan ujaran kebaikan. Poin satu dan dua di atas merupakan langkah yang cenderung pasif. Sekedar merespons apa yang terjadi di hadapan. Langkah penting lain yang dapat dilakukan adalah membanjiri beragam medsos dengan postingan yang bermanfaat, menyejukkan, dan mempromosikan kebajikan. Secara sederhana, jika ada satu postingan yang mengandung keburukan, kemudian dilawan dengan sepuluh postingan dengan narasi kebaikan, maka akan bisa mengubur postingan yang tidak baik tersebut. Maka, pegiat media sosial harus berlomba-lomba memberikan informasi yang baik dan bermanfaat. Dengan cara itulah, hate speech perlahan dapat dihilangkan.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

View Comments

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

1 hari ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

1 hari ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

1 hari ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

4 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

4 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

4 hari ago