Categories: Kebangsaan

Membiasakan yang Benar, bukan Membenarkan yang Biasa

Membiasakan yang benar dalam perilaku kehidupan keagamaan sepertinya lebih sedikit dilakukan oleh masyarakat, justru membenarkan yang biasa terasa sangat mudah dan lumrah terjadi dalam masyarakat. Hal ini tentu tanpa dilandasi dengan dasar valid baik berupa petunjuk yang bersifat naqli maupun aqliy.

Membiasakan yang benar membutuhkan keteladanan, keberanian dan konsistensi tingkat tinggi, sementara membenarkan yang biasa lebih mudah dilakukan karena tidak memerlukan proses pikir panjang. Masyarakat yang terdidik tidak akan larut untuk turut membenarkan suatu perkara dengan tiba-tiba, meski hal itu dianggap biasa oleh masyarakatnya.

Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang tumbuh subur di tengah masyarakat. Pertumbuhan jumlah masyarakat yang sangat cepat berimbas langsung pada pertumbuhan budaya yang juga meningkat tajam. Nilai-nilai budaya luhur memang tampak mulai menurun dari generasi ke generasi, hal ini dapat dilihat dari perilaku sebagian masyarakat yang tampak semakin malas melakukan inovasi, koreksi, dan perbaikan tergadap prilaku yang seolah telah mentradisi di tengah masyarakat. Karenanya budaya yang berurat berakar di masa kini tidak dapat memberikan solusi untuk permasalahan yang muncul dalam masyarakat.

Bagaimana dengan agama? Sejatinya agama hadir untuk memberikan solusi alternatif terhadap berbagai macam permasalahan yang timbul dalam masyarakat; agama hadir untuk menghilangkan permasalahan, gesekan, pertengkaran dan pertikaian. Artinya agama bukan sumber mala petaka, ia membawa konsep dan wacana kehidupan yang mendamaikan, menyatakan masyarakat yang beragam, serta latar belakang kehidupan masyarakat yang berbeda.

Agama hadir dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dengan mengangkat derajat manusia dan menghilangkan perbedaan yang dapat menghancurkan nilai persaudaraan antar sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika diamati lebih jauh, budaya dan agama memiliki banyak persamaan nilai, terutama yang terkait dengan penghargaan terhadap kemanusiaan.

Hal ini terlihat dari bagaimana Islam misalnya, menjadikan budaya sebagai metode dalam berdakwah, sehingga Islam lebih mudah diterima masyarakat. Budaya boleh digunakan sebagai metode dakwah selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam, karena mencampur adukkan sesuatu, misalnya antara yang benar dengan tidak benar dilarang oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya: dan janganlah kau campur adukkan kebenaran dan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya (QS. al-Baqarah ; 42).

Alih-alih membumi-hanguskan budaya yang berkembang dalam masyarakat, Islam melakukan akulturasi terhadap budaya, sehingga Islam menjadi agama yang universal. Misalnya, Imam al-Baihaqy mengatakan bahwa ucapan selamat ketika hari raya idul fitri adalah ‘taqabbalallahu minna wa minkum‘. Namun masyarakat Islam Indonesia mengucapkan kalimat ‘minal ‘aidzin wal waizin‘, artinya ‘semoga anda termasuk dari kelompok orang-orang yang kembali kepada kesucian dan kebahagiaan’.

Pakar budaya memandang kebudayaan sebagai dinamika Ilahi, Hegel menyatakan bahwa seluruh karya sadar manusia berupa ilmu, tata hukum, tata negara dan filsafat merupakan proses realisasi diri dari roh Ilahi. Agama merupakan salah satu unsur kebudayaan, antropolog menyatakan bahwa manusia mempunyai akal pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama, mereka hanya dapat menafsirkan ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Akhirnya, kebenaran dan nilai yang dibawa agama harus senantiasa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip kebenaran, seperti yang tertuang dalam ajaran agama dan nilai-nilai budaya, masyarakat akan dengan sendirinya terbiasa pada kebenaran, bukan membenarkan yang biasa.

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

3 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

3 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

3 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

1 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

1 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

1 hari ago