Membincangkan ideologi khilafah tidak bisa dilepaskan dari karakteristik produk fikih klasik. Di era klasik, pemikiran fikih dicirikan dengan karakteristiknya yang tekstualistik dan pragmatistik. Tekstualis dalam artian rumusan fikih kala itu lebih banyak didasarkan pada pembacaan teks keislaman secara harfiah.
Pragmatis dalam artian produk fikih kala itu lebih banyak ditujukan untuk kepentingan melayani kekuasaan politik pada zamannya. Sudah menjadi rahasia umum jika para ahli fikih era klasik hingga abad pertengahan merupakan bagian dari rezim yang tengah berkuasa.
Konsekuensinya, produk fikih yang dihasilkan pun kerap membela kepentingan penguasa. Misalnya karya monumental Imam al Mawardi, yakni al Ahkam al Sulthaniyah yang ditulis untuk khalifah al Qaim bi Amrillah (422-467 H).
Dikotomi Darul Harb dan Darul Islam sebagai Produk Fikih Klasik
Salah satu manifestasi fikih tekstualis dan pragmatis itu ialah konsep dikotomistik yang mengklasifikasikan wilayah ke dalam dua kategori; darul harbi dan darul Islam. Darul harbi merujuk pada negara berpenduduk non-muslim atau dalam terminologi fikih klasik disebut kafir. Penduduk non-muslim ini masih dibagi lagi ke dalam dua golongan.
Pertama, kafir dzimmi yakni non-muslim yang tidak memusuhi Islam. Mereka mendapat perlindungan dengan membayar jizyah. Kedua, kafir harbi, yaitu mm-muslim yang memusuhi Islam. Dalam pandangan fikih klasik, kelompok ini wajib diperangi.
Sedangkan darul Islam merujuk pada wilayah yang penduduknya beragama Islam. Dalam fikih klasik, kaum muslim menempati strata tertinggi. Meraka mendapat previlese dan jaminan keamanan tanpa kewajiban membayar pajak.
Dikotomi darul harbi dan darul Islam ini belakangan berusaha direduplikasi oleh pengasong khilafah. Mereka berkeyakinan, semua negara yang tidak menerapkan hukum Islam (syariah) ialah darul harbi.
Doktrin ekstrem ini banyak kita temui di kelompok teroris. Salah satunya ISIS. Doktrin ISIS yang paling berbahaya ialah perintah jihad (baca: teror) pada semua simpatisannya, dimana pun dan kapan pun. Sasarannya ialah siapa pun yang menghalangi berdirinya khilafah. Meskipun itu umat Islam.
Dekonstruksi Fikih Klasik, Membangun Ummatan Wasathan
Dikotomi darul harbi dan darul Islam di era modern ini cenderung rancu. Bagaimana tidak? Kondisi umat Islam sudah jauh berbeda dengan era kekhalifahan. Peta dunia Islam pun telah berubah total. Pasca berakhirnya kolonialisme abad ke-19, banyak negara muslim baru bermunculan.
Uniknya, negara ini tidak mengambil model teokrasi, monarki, atau khilafah. Alih-alih, sejumlah negara itu justru mengadaptasi model negara-bangsa yang populer di Eropa sejak abad ke-17. Model negara bangsa ialah negara yang mengakui multikulturalisme dan tidak menjadikan agama sebagai sumber hukum negara.
Ada beragam faktor mengapa sejumlah negara muslim itu memilih model negara-bangsa. Di satu sisi, ada trauma psikologis yang dirasakan umat atas kejatuhan kekhalifahan Usmaniyah yang dilatari krisis moral dan politik. Umat Islam tidak ingin kejadian serupa terulang.
Di sisi lain, persentuhan dengan dunia modern Barat membuka mata umat Islam bahwa model negara bangsa jauh lebih beradab ketimbang negara teokrasi apalagi monarki. Ketika sebagian besar umat Islam hari ini hidup di wilayah yang menganut model negara bangsa, maka konsepsi fikihnya pun mau tidak mau harus dibongkar alias didekonstruksi. Dikotomi fikih klasik yang membagi wilayah menjadi darul harbi dan darul Islam kiranya tidak lagi relevan.
Dalam konteks negara bangsa, warganegara memiliki kedudukan setara terlepas dari ras, suku, etnis, warna kulit, atau agama. Disinilah pentingnya membangun paradigma fikih politik baru yang relevan dengan situasi zaman.
Dikotomi darul harbi dan darul Islam tidak relevan, karena semua negara memiliki kedaulatan penuh yang tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun. Artinya, setiap negara berhak menentukan nasibnya sendiri. Termasuk memilih sistem politik dan aturan hukumnya.
Di era sekarang, yang terpenting ialah mewujudkan konsep ummatan wasathan alias umat terbaik. Penafsiran terbaik dalam hal ini bukan berarti umat Islam paling superior dan yang lain inferior. Dalam tafsir Al Azhar karya Hamka, ummatan wasathan dicirikan dengan lima karakter.
Pertama, beriman kepada Allah dan mentaati perintah-Nya. Kedua, bersikap jujur dalam ucapan dan tindakan. Ketiga, bertindak adil terutama dalam aspek hukum. Keempat, bijaksana dalam mengambil keputusan, senantiasa mengedepankan kepentingan bersama (maslahah al ammah). Kelima, menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan kemanusiaan.
Point terakhir ini menjadi penting, apalagi di era ketika tata dunia global tengah terancam oleh keberadaan kelompok radikal-teror yang mengusung ideologi khilafah. Konsep ummatan wasathan di era sekarang harus didesain sebagai sebuah konsep persaudaraan lintas-bangsa, negara, dan agama.
Maknanya, setiap negara dijamin kebebasan dan kedaulatannya. Namun, masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian global dan menciptakan relasi yang setara. Konsep ummatan wasathan ini kiranya sesuai dengan gagasan humanisme universal yang dicita-citakan era modern.
This post was last modified on 13 Februari 2023 1:34 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…