Narasi

Membongkar Narasi Sekolah Islami: Antara Misi Peradaban atau Merek Dagangan ?

Di Indonesia, istilah “sekolah Islam” atau “sekolah Islami” telah menjadi merek tersendiri, yang bersaing dengan sekolah favorit lainnya. Banyak ragam model sekolah Islam yang justru menjadi ladang kapitalisasi pendidikan yang luar biasa. Harga dan biaya pendidikan pun menjulang tinggi yang tidak kalah dengan sekolah swasta favorit lainnya.

Bagi orang tua, seakan ada kebanggaan tersendiri ketika mereka memasukkan anaknya ke sekolah berlabel “Islam,” seolah-olah menjamin anak akan menjadi sholeh, religius, dan “terhindar” dari pengaruh dunia luar yang dianggap buruk. Namun, pertanyaannya, sholeh yang seperti apa, relijius yang berpikiran seperti apa ?

Di balik kebanggaan itu, perlu ada refleksi kritis dan dekonstruktif: apa sebenarnya yang dimaksud dengan “sekolah Islam”? Apakah ia telah merepresentasikan semangat peradaban Islam yang sesungguhnya? Apakah sekolah Islami hanya merek yang memukau untuk menjangkau emosi keagamaan orang tua?

Saya mengkhawatirkan sekolah berlabel Islam justru memproduksi pemaknaan sempit terhadap Islam. Islam direduksi sekadar hafalan ayat, praktik simbolik, dan repetisi ritual tanpa pemahaman mendalam. Islam diajarkan seolah dunia ini terbagi dua: yang Islami dan yang tidak Islami, yang kita dan yang mereka, yang halal dan haram, dengan garis yang begitu kaku.

Jika demikian, alih-alih melahirkan generasi rahmatan lil ‘alamin, sekolah Islam justru berisiko menumbuhkan segregasi pemikiran sejak dini, bahkan pada tataran identitas sosial. Sekolah Islam khawatirnya hanya mengenal anak didik pada satu warna kehidupan yang tidak mengenal keragaman di luar realitasnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, dalam usaha menghindari sistem pendidikan sekular yang dianggap memisahkan agama dan ilmu, sebagian sekolah Islam justru terjebak dalam kutub ekstrem lainnya—menjadikan agama sebagai satu-satunya pusat orientasi, lalu meminggirkan sains, filsafat, seni, bahkan kehidupan sosial.

Di titik inilah, “Islamisasi pendidikan”yang semestinya menjadi upaya penyatuan antara ilmu dan iman, justru menjadi kubu eksklusif yang membatasi lompatan akal dan kebebasan berpikir.

Sekolah Islam: Misi atau Merek?

Jika kita menelusuri sejarah emas peradaban Islam, maka kita akan menemukan semangat yang sangat berbeda dengan yang kini banyak direpresentasikan oleh sekolah-sekolah Islam modern. Islam pada masa kejayaan—dari Baghdad hingga Andalusia—adalah agama yang menjadi pelita ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, Al-Biruni, dan Ibn Khaldun bukan hanya mendalami teologi, tetapi juga memimpin peradaban dalam logika, kedokteran, matematika, geografi, bahkan sosiologi. Mereka tidak hanya islami secara ritual, tetapi membangun peradaban dunia dengan intelektualitas tinggi yang bertumpu pada keimanan dan keterbukaan.

Maka, apakah sekolah-sekolah Islam hari ini mencerminkan semangat tersebut? Apakah sekolah Islam membangun ilmuwan Muslim, atau hanya memproduksi lulusan yang piawai dalam hafalan tanpa nalar? Apakah sekolah Islam menjadikan Islam sebagai pondasi keterbukaan, atau justru sebagai pagar tinggi yang mengasingkan anak dari realitas dunia dan pluralitas sosial?

Patut dipertanyakan, apakah sekolah Islam membawa misi peradaban dengan membangun keimanan yang kuat, nalar yang kokoh dan sikap menampilkan citra Islam yang rahmatan lil alamin. Atau jika tidak, Sekolah Islam hanya merek dagangan untuk menarik simpati orang tua. Atau lebih parahnya sekolah Islam justru hanya menciptakan segregasi dan polarisasi yang ditumbuhkan sejak dini.

Menuju Pendidikan Islam yang Inklusif dan Mencerahkan

Pendidikan Islam sejatinya bukan hanya soal mempelajari agama, tetapi tentang menumbuhkan akal, adab, dan tanggung jawab sosial.  Dalam Al-Qur’an, perintah pertama yang turun adalah Iqra’—bacalah! Ini menunjukkan bahwa fondasi Islam justru bermula dari pencarian pengetahuan. Maka, pendidikan Islam haruslah menjadikan ilmiah, kritis, dan terbuka sebagai orientasi utama.

Karena itu, sekolah Islam yang ideal bukanlah sekolah yang memisahkan anak dari dunia sosial yang plural, melainkan justru menjadi tempat di mana anak belajar hidup berdampingan dengan perbedaan. Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW membangun Madinah sebagai masyarakat inklusif: Muslim, Yahudi, bahkan yang tidak beragama hidup di bawah satu piagam sosial.

Maka Saya membayangkan sekolah Islam yang membuka diri bagi siswa non-Muslim bukanlah sesuatu yang aneh, justru itulah keluhuran Islam yang sesungguhnya. Sekolah Islam tidak perlu menjadi “tempat steril” dari pengaruh luar. Ia harus menjadi ruang kreatif di mana ilmu berkembang, nilai ditanamkan, dan perbedaan dirayakan. Sekolah Islam tidak cukup hanya dengan label—tetapi dengan nilai.

Sudah waktunya kita melakukan koreksi besar terhadap praktik pendidikan Islam hari ini. Jika tidak, sekolah Islam hanya akan menjadi sekat baru yang menciptakan polarisasi sosial dan pemikiran. Apa gunanya membanggakan hafalan jika akalnya tidak kritis? Apa gunanya simbol Islam jika perilakunya jauh dari adab? Atau jangan-jangan sekolah Islam hanya merek semata.

Pendidikan Islam harus mengembalikan Islam ke akarnya—yakni sebagai agama ilmu, adab, dan kasih sayang. Ia harus memadukan iman dan akal, ritual dan nalar, keberagamaan dan keberadaban. Maka, sekolah Islam harus membuka diri terhadap sains, filsafat, seni, dan dialog antariman.

Sekolah Islam harus berani berbeda dari pola lama yang eksklusif dan menciptakan ruang yang mendidik anak menjadi manusia yang terbuka, cerdas, dan beradab. Karena pada akhirnya, Islam bukan tentang menutup diri dari dunia, tetapi tentang menjadi cahaya bagi dunia.

Farhah Sholihah

Recent Posts

Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

Di tengah peringatan Hari Anak Nasional, sebuah ancaman senyap terus mengintai masa depan generasi penerus…

7 jam ago

Jaga Anak dari Virus Intoleransi: Menuju Indonesia Emas 2045

Peringatan Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan lomba mewarnai atau parade…

7 jam ago

Sudahkah Kita Kritis Memilihkan Sekolah Keagamaan untuk Anak?

Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham…

1 hari ago

Strategi Jangka Panjang Melindungi Generasi Emas dari Virus Intoleransi

Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya…

1 hari ago

Menyoal Dikotomi Sekolah Islam dan Sekuler; Bagaimana Mendefinsikan Kesalehan Anak dalam Bingkai NKRI?

Dalam tradisi setiap masyarakat di Indonesia, semua bayi yang baru saja lahir pasti didoakan dengan…

1 hari ago

Menghidupkan Kembali Dakwah Nusantara yang Akulturatif dan Akomodatif di Tengah Gempuran Dakwah Transnasional

Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…

4 hari ago