Narasi

Membumikan Kesalehan Bernegara di Tengah Arus Konservatisme Agama

Lanskap keberagamaan di Indonesia pasca Reformasi 1998 diwarnai oleh sejumlah fenomena. Salah satunya ialah kian menjamurnya konservatisme dalam beragama, terutama di kalangan umat Islam. Reformasi 1998 telah membuka ruang publik yang bebas, terbuka dan egaliter. Hal itu dimanfaatkan oleh kelompok Islam politik untuk menebarkan pengaruhnya di masyarakat. Upaya itu pun berhasil. Dua dekade sejak Reformasi bergulir, kini kita menyaksikan bagaimana konservatisme beragama menjadi fenomena yang mengarusutama di Indonesia.

Konservatisme beragama itu dapat diidentifikasi dari sejumlah hal. Antara lain, pertama munculnya ekspresi kesalehan individual di ruang publik seperti masifnya jilbab dan pakaian muslim di kalangan masyarakat. Kedua, munculnya ormas-ormas keagamaan yang mengusung agenda politis-ideologis. Pasca Reformasi, kita melihat sendiri bagaimana ormas keislaman berhaluan konservatif-radikal mulai menggeser dominasi ormas Islam berhaluan moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Ketiga, lahirnya konsep pengkultusan terhadap tokoh agama tertentu secara berlebihan dan menjurus pada fanatisme dan sikap intoleransi.

Budaya pengkultusan terhadap tokoh agama tertentu ini dalam banyak hal telah mengubah peta otoritas keagamaan di Indonesia. Di masa lalu, peran keagamaan di masyarakat lebih banyak dimainkan oleh kiai, ustad atau ulama yang memiliki latar belakang keilmuan dan keislaman yang mumpuni. Kini, otoritas itu mulai bergeser ke sosok-sosok yang memiliki popularitas tinggi, meski acapkali tidak didukung oleh kapasitas keilmuan yang cukup.

Di tengah arus budaya konservatisme keberagamaan yang kian akut inilah, aspek kesalehan sosial apalagi kesalehan bernegara menjadi kerap terbaikan. Keberagamaan lantas hanya melahirkan kesalehan individual yang kaku dan formalistik. Di ranah sosial-kultural, agama lantas tumbuh menjadi sesuatu yang kering, tidak membumi dan seolah tercerabut dari realitas sosial. Di saat yang sama, konservatisme beragama itu perlahan juga menjerumuskan umat ke dalam nalar eksklusivisme, intoleransi bahkan radikalisme agama.

Gejala-gejala itu tampak pada fenomena resistensi kelompok tertentu terhadap hukum positif negara. Kelompok tersebut gemar melanggar aturan hukum dengan mengatasnamakan agama dan meghindar dari proses peradilan dengan alibi bahwa hukum negara memiliki kedudukan di bawah hukum agama. Mereka lihai memelintir dalil agama untuk menjustifikasi sikap dan perilaku yang bertentangan dengan aturan hukum dan norma sosial. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut golongan ini sebagai benalu dalam kehidupan sosial dan kenegaraan kita.

Para benalu dalam sistem kenegaraan itu sungguh meresahkan. Mereka menciptakan semacam abnormalitas hukum, yakni satu keadaan dimana hukum negara dan norma sosial dijungkirbalikkan sedemikan rupa. Lembaga peradilan dideskreditkan dengan berbagai tudingan. Ketertiban sosial diabaikan demi memuaskan arogansi keberagamaan yang sebenarnya semu belaka. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin wibawa negara akan terdegradasi ke titik paling bawah.

Adalah tugas bersama umat beragama untuk membumikan kesalehan bernegara, terutama di tengah arus deras konservatisme agama. Dalam konteks inilah, umat Islam perlu memoderasi cara pandang dan praktik keberagamannya ke arah yang lebih moderat-progresif. Keberagamaan yang moderat-progresif dicirikan setidaknya dari dua hal. Pertama, sikap terbuka dan toleran pada perbedaan agama, suku, budaya yang ada di masyarakat. Kedua, sikap patuh dan taat pada aturan hukum negara serta aturan norma sosial yang berlaku di masyarakat.   

Poin kedua ini menjadi sangat penting lantaran kepatuhan pada hukum positif merupakan salah satu representasi dari sikap kesetiaan pada bangsa dan negara. Umat beragama di Indonesia pada dasarnya mengemban dua identitas sekaligus tanggung jawab, yakni dari sisi teologis dan sisi sosiologis. Dari sisi teologis, umat beragama terikat ikrar keimanan pada Tuhan dan agama yang diyakininya. Sedangkan dari sisi sosiologis, umat beragama terikat pada relasi struktural antara negara dan warganegara.

Kepatuhan kita dalam menjalankan peribadatan agama merupakan wujud dari kesalehan teologis. Sedangkan ketaatan kita pada undang-undang dan norma sosial merupakan representasi dari kesalehan sosial dan bernegara. Keduanya tidak mungkin dipisahkan, lantaran merupakan bagian yang integral satu sama lain. Arkian, sebagai umat beragama sekaligus warganegara idealnya kita tidak hanya memoles sisi spiritual kita saja. Namun, di saat yang sama kita juga harus terus-menerus merawat sisi sosial kita sekaligus memupuk kesalehan dalam konteks kehidupan bernegara.

This post was last modified on 25 Maret 2021 2:47 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

23 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

23 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

23 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago