Pustaka

Membumikan Nilai-Nilai Perdamaian dalam Al-Qur’an

Judul Buku : Al-Qur’an Bukan Kitab Teror

Penyusun   : Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag

Penerbit       : Bentang Pustaka

Cetakan       : I, Februari 2016 ; II, Maret 2016

Tebal                        : xxiv+284 halaman

ISBN             : 978-602-7888-99-9

 

Akhir-akhir ini Agama Islam selalu diidentikkan dengan kekerasan dan terorisme. Islam, sebagaimana agama lainnya, selalu mengajarkan perdamain dalam sendi-sendi kehidupan. Islam mengajarkan kerukunan, perdamaian dan sangat menjunjung tinggi harkat kemanusian. Sehingga, apa pun alasan dan bentuknya, kekesaran atas nama agama tidak bisa dibenarkan dalam Islam. Namun, seringkali implementasi ajaran Islam di lapangan mengalami tolak belakang. Tak ayal, hingga hari ini, tindakan intoleransi seperti intimidasi, kekerasan, dan penyerangan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dengan dalih agama masih terus terjadi di depan mata kita. Dan, ironinya, hampir semua tindak teror dan intoleransi itu dilakukan oleh umat yang mengaku beraga Islam. Tentunya, ini sekaligus menampar wajah Islam yang cinta dengan perdamaian.

Dengan latar belakang tersebut, melalui buku ini, Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag menjawab prasangka buruk yang disematkan kepada Agama Islam. Ia menawarkan gagasan Qur’ani tentang bagaimana membangun perdamaian ideal dalam masyarakat Indonesia yang plural. Untuk kepentingan ini beliau mengelaborasikan tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer sekaligus. Beliau melihat, kajian ini menjadi lebih signifikan bukan hanya karena menjadi ikhtiar menciptakan perdamaian di tengah masyarakat, tetapi juga menjadi tanggung jawab umat Islam dalam menawarkan konstruksi perdamaian yang relevan dengan Al-Quran bagi pemecahan problematika umat dewasa ini.

Sebetulnya, praktik perdamaian sudah tampak dari ucapan “salam”. Sebuah kata yang memiliki hubungan semantik dengan “Islam” (hal. 4). Ucapan salam berupa assalamu’alaikum merupakan bentuk aktualisasi perintah moral Al-Quran yang menjunjung tinggi arti perdamaian dan kedaimaian. Praktik perdamaian juga jelas terekam dalam tradisi dan hidup Nabi. Beliau menempatkan perdamaian pada posisi yang penting dalam Islam, seperti yang ditunjukkan dengan persaudaraan kaum Ansor dan Muhajirin. Dalam kerangka yang lebih luas, kualitas iman seseorang dapat diukur dengan sejauh mana kesalehan dalam kehidupan sosial, sejauh mana ia dapat memberi dan menjamin kedamaian bagi keberlangsungan kehidupan yang harmonis.

Sebab itu, dalam buku ini, Imam menegaskan bahwa damai merupakan fitrah dalam Al-Qur’an. Hal ini karena Islam merupakan agama  fitrah (din al-fitrah). Tak ayal, menurutnya, terdapat kaitan antra fitrah jiwa manusia dan fitrah agama Islam (hal. 57).

Fitrah damai dalam diri seseorang akan selalu beriringan dengan fitrah agama. Ketika agama mengajarkan perdamaian, berarti fitrah jiwa juga sinergis dengan ajaran agama tersebut. Dengan kata lain, selama manusia mampu menjaga fitrah jiwanya, ia akan menjalankan agama sebagaimana fitrahnya.

Lebih lanjut, Imam menuturkan bahwa perdamaian Islam dibangun di atas tiga pilar; Islam, iman, dan ihsan. Keimanan seseorang berbuah ketika mampu mendatangkan kebaikan dan kedamaian bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sementara, dalam konteks perdamaian, ihsan merupakan wujud internalisasi dari prinsip Islam dan nilai keimanan seseorang agar mampu mencapai kondisi ideal dalam menjalani kehidupannya. Ihsan memungkin masyarakat untuk berada dalam cinta, kasih sayang, persaudaraan, dan persahabatan. Penghayatan serta pengamalan penuh Islam, iman, dan ihsan akan menjadi modal utama bagi terciptanya ketentraman, keharmonisan, dan kedamaian. (hal.77-78)

Sementara itu, untuk mewujudkan konsep perdamaian dalam Al-Qur’an, Imam menawarkan segitiga sinergis perdamaian. Konsep ini dibangun di atas dasar hubungan sinegis antara tiga komponen pembangun perdamaian, yakni pendamai, strategi perdamaian, dan tujuan perdamaian. Ketiga komponen ini tidak bisa berdisi sendiri-sendiri akan tetapi harus saling melengkapi, saling terkait, dan saling memperkuat. Al-Qur’an mengajarkan bahwa strategi utama untuk membangun perdamaian adalah dengan jalan ishlah. Ishlah menggambarkan bahwa ketika terdapat dua orang berseteru dan berselisih, kita diperintahkan untuk mendamaikan dan menemukan titik temu kesepahamannya agar tidak terjadi pertikaian. Dalam kondisi ini, ishlah tidak bisa bergerak sendiri, tetapi butuh piranti strategis-teknis, di antaranya musyawarah, makruf, ‘afw, da hikmah. (hal.100-106).

Terakhir, di bagian lain dalam buku ini, Imam berusaha membawa dan menerapkan konsep perdamaian tersebut ke dalam kehidupan keluarga dan sosial. Untuk mewujudkan perdamaian di keluarga, Al-Qur’an menekankan keharusan adanya pemenuhan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga dalam pergaulan yang baik dengan berlaku adil, kasih sayang, dan musyawarah. Sementara, secara garis besar, pandangan Al-Qur’an tentang perdamaian yang semestinya diimplementasikan umat Islam di tengah bangsa plural seperti Indonesia, meliputi; Pertama, orang Islam harus sadar bahwa Al-Qur’an adalah salah satu kitab suci yang mendorong kebebasan setiap orang untuk memilih agama tertentu. Kedua, dalam upaya membangun perdamaian personal, interpersonal, dan intrapersonal, dibutuhkan tafsir Al-Qur’an yang lebih menghargai pihak lain. Sebab, tafsir eksklusif justru akan bersifat diskriminatif kepada pihak lain, dan hal ini tidak senafas dengan cita-cita perdamaian. Ketiga, setiap orang perlu menghapus stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan bahwa Islam adalah agama teroris yang mengedepankan kekerasan dalam menangani segala persoalan.

Sudah saatnya berbagai polemik, ketegangan, dan kekerasan yang merebak di Indonesia, terutama yang berpayung agama didekati dengan kembali kepada konsep damai yang Qurani, yang dibangun di atas fondasi Islam, iman, dan ihsan. Agar, tidak lagi ada stereotip negatif terhadap Islam. Sebab, dalam pandangan Imam, ajaran Islam tidak membenarkan adanya bentuk kekerasan. Maka, melalui buku ini Imam mengajak kita untuk membumikan nilai-nilai perdamaian dan kedamaian yang terkandung dalam Al-Qur’an.

This post was last modified on 17 Maret 2017 7:23 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

3 jam ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

3 jam ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

4 jam ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

1 hari ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

1 hari ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

1 hari ago