Narasi

Membumikan Nuzulul Qur’an: Memaknai “Rahmah” sebagai Kunci Kehidupan Harmonis

Ada dua premis yang secara fundamental menjadi landasan manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan; dan kedua, manusia sebagai individu yang memiliki identitas berbeda satu dengan lainnya.

Meski begitu, keniscayaan manusia yang harus bersosial untuk menjalani kehidupan, biasanya mengakibatkan bentrokan antar karakter individu yang berbeda satu sama lain. Lalu, bagaimana mestinya kita bersikap?

Sebagai titik pijak, ada baiknya jika kita melihat lebih bagaimana ‘rahmah’ bisa menjadi kata kunci untuk mencintai sesama manusia dengan lebih objektif tanpa memandang keberbedaan orang lain sebagai ancaman.

Menjelang peringatan Nuzulul Qur’an, penting bagi kita untuk tidak hanya merayakannya lewat selebrasi formil, namun juga memaknai pesan-pesan Al-Qur’an dan mengeksternalisasikannya dalam kehidupan keseharian kita. Memang benar bahwa menghayati Al-Qur’an bukan hanya terpaku pada satu momentum saja. Sebagai umat Islam kita harus menghayatinya setiap waktu. Namun tidak ada salahnya juga bagi kita untuk membuat semacam rambu-rambu pengingat karena barangkali kita tidak sadar bahwa kita sejatinya sedang jauh dari Al-Qur’an.

Kata rahmah dalam Al-Qur’an hampir semuanya merujuk kepada Allah sebagai Subyek utama pemberi rahmah. Dengan kata lain, rahmah di dalam al-Qur’an berbicara mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan kasih sayang, kebaikan, anugerah dan anugerah Allah terhadap segenap makhluk. Misalnya dalam QS. Asy-Syura; 8,

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن يُدْخِلُ مَن يَشَآءُ فِى رَحْمَتِهِۦ ۚ وَٱلظَّٰلِمُونَ مَا لَهُم مِّن وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Artinya,

Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat [saja], tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong

Dalam ranah interpretasi Al-Qur’an, kata rahmah berbagi tafsir yang nyaris serupa dengan mahabbah. Namun demikian, Haidar Bagir menjelaskan bahwa mahabbah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) memiliki perbedaan. Mahabbah adalah perasaan kecenderungan yang lahir dari kesempurnaan sesuatu. Artinya manusia mencintai sesuatu karena ia sempurna. Sedangkan rahmah adalah perasaan cinta kepada sesuatu yang tidak sempurna.

Term rahmah sendiri menurut penafsiran Prof. Quraish Shihab secara garis besar bermakna ra’fah (santun, lemah lembut), riqqah (lembut, lunak dan kasihan) dan perwujudan dari pengasih-Nya yang sangat bisa dirasakan oleh makhluk ciptaan-Nya, dan cakupannya begitu luas. Quraish Shihab menambahkan bahwa rahmah tidak sekedar kebahagiaaan di akhirat (surga) saja, tapi juga kebaikan di dunia yakni berupa anugerah, hidayah, rezeki, perindungan dan sebagainya.

Itulah mengapa Allah memberi rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki, bahkan kepada orang kafir sekalipun, karena Allah memiliki sifat rahmah yang mencintai makhluknya meskipun ia tidak berada di jalan-Nya.

Tentu, umat Islam juga meyakini bahwa Nabi Muhammad diutus bukan untuk umat Islam saja, melainkan sebagai rahmat untuk alam semesta. Mengingat al-Qur’an adalah kitab yang membawa petunjuk, maka bukankah itu artinya Allah Swt dan rasul-Nya sedang memberikan kode kepada manusia bahwa rahmah merupakan aspek yang penting yang harus ada dalam kehidupan manusia.

Maka, bisa disimpulkan bahwa rahmah adalah kebaikan universal yang ditujukan untuk semua orang, bukan orang tertentu saja, dan bukan orang-orang yang memiliki kesamaan paham saja.

Dalam al-Qur’an, Allah memberi kasih sayang-Nya kepada semua makhluk tanpa kecuali. Meminjam istilah Haidar Bagir, Allah tetap menjamin rezeki ciptaan-Nya meskipun ia tidak sempurna, dalam arti tidak sempurna dalam perihal keimanan. Sama dengan Nabi Muhammad, dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyyah, bentuk kasih sayang Nabi kepada manusia sangatlah melimpah ruah, tentu yang paling diingat adalah sikap Nabi kepada seorang Yahudi yang sering meludahinya di lorong yang sering dilewati Nabi Saw menuju Ka’bah. Ketika Yahudi tersebut sakit sehingga tidak lagi meludahi Nabi, Nabi dengan kasih sayangnya menjenguknya sembari membawakannya buah-buahan.

Barangkali ada yang membantah bahwa tidak mungkin manusia bisa meniru sifat rahmah Tuhan yang Maha Sempurna dan Nabi Muhammad yang dilindungi Allah dari dosa. Memang benar jika ada yang berkata demikian, namun Allah juga memiliki sifat indah dan mencintai keindahan, begitupun juga Nabi.

Lalu, apakah kemudian manusia juga akan membantah bahwa sukar untuk meniru sifat Tuhan sehingga manusia tidak berusaha untuk membuat dirinya indah? Saya rasa tidak, karena zaman sekarang justru manusia sedang berlomba untuk memperindah dan mempercantik diri.

Jika demikian, mengapa manusia juga tidak berlomba untuk menyebarkan rahmah di muka bumi dengan tetap berbuat baik terhadap orang yang memiliki keberbedaan pandangan dengannya. Mungkin, dalam konteks manusia dan kehidupan sosial, rahmah bisa diterjemahkan dengan kasih sayang. Kasih sayang yang universal, kasih sayang untuk semua makhluk.

Ada diktum populer di tengah masyarakat bahwa agama, khususnya Islam, mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, tapi mengapa kekerasan dan kebencian justru banyak muncul dalam umat beragama.

Saya bisa mengatakan bahwa hal itu karena umatnya melakukan hal sebaliknya. Alih-alih berusaha menebarkan rahmah, mereka justru hanya sibuk menyalah-nyalahkan orang lain, menyesatkan, bahkan mengkafirkan sesama saudaranya sendiri.

Salah satu cara untuk mengubah stigma Islam yang sarat intoleransi dan  kekerasan adalah menjadi muslim yang rahmah, menjadi muslim yang berkasih sayang. Mudah saja, seseorang belum dikatakan sebagai muslim yang berkasih sayang selama ia masih fanatik dengan kebenaran yang diyakininya sembari memvonis salah terhadap kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Dengan rahmah, Allah memberikan kedamaian pada alam semesta, dengan rahmah pula manusia memberi kedamaian terhadap sesama.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

4 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

7 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

9 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

9 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

1 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

1 hari ago