Trihari Suci adalah serangkaian hari peringatan menuju pagi Minggu Paskah. Rangkaian masa hari-hari suci itu dimulai sejak malam Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, yang lalu berpuncak pada pagi Minggu Paskah. Masing-masing hari itu memperingati peristiwa suci yang dialami Yesus Kristus.
Malam Kamis Putih memperingati perjamuan terakhir yang dilakukan oleh Yesus bersama murid-murid-Nya, di mana setelahnya Ia ditangkap. Jumat Agung memperingati hari di mana Yesus disalibkan hingga Ia wafat dan dikuburkan dalam sebuah gua batu. Sabtu Suci merupakan peringatan akan masa kepedihan dan penantian murid-murid Yesus setelah ditinggalkan oleh Sang Guru. Minggu Paskah lantas memperingati pagi di mana Yesus bangkit dari kematian.
Tentu, karena Yesus Kristus hidup membersamai manusia dalam sejarah, kehidupan, karya dan pengajaran, hingga kematian-Nya tidak terlepas dari konteks politik yang menjadi latar belakang masyarakat pada waktu itu. Justru, latar belakang sosial-politik inilah yang kemudian membuat pesan yang dibawa oleh kematian dan kebangkitan Yesus begitu tajam dan terus relevan hingga hari ini. Pesan ini yang akan kita gali dalam artikel ini, khususnya untuk konteks pasca-pemilu hari ini.
Pada masa itu, masyarakat di mana Yesus hidup dan berkarya ada di bawah penjajahan kekaisaran Romawi. Tentu saja, penjajahan mengundang perlawanan dari bangsa Yahudi pada waktu itu. Beberapa pemberontakan besar tercatat sebelum kelahiran Yesus, walaupun tetap gagal melepaskan bangsa Yahudi pada masa itu dari kekaisaran yang memiliki kekuatan militer yang begitu besar. Akhirnya, masyarakat Yahudi melahirkan paling sedikit empat kelompok gerakan politik-keagamaan sebagai respon terhadap penjajahan ini. Kelompok-kelompok tersebut termasuk kelompok Eseni, kelompok Saduki, kelompok Farisi, dan kelompok Zelot.
Kelompok Eseni membenamkan diri pada wacana religius yang meyakini bahwa akhir zaman sudah menjelang, sehingga situasi politik apapun, termasuk penjajahan, bukan sesuatu yang penting untuk diurusi. Mereka menarik diri dari masyarakat yang mereka nilai sebagai orang-orang sesat yang sudah menjauh dari Tuhan. Kelompok Saduki merupakan kelompok aristokrat Yahudi konservatif yang cenderung pesimis terhadap perjuangan masyarakat melawan pemerintahan Romawi yang memang jauh lebih kuat. Hal ini membuat kelompok Saduki untuk membiarkan status quo dan bersikap oportunis dengan berpihak pada penjajah. Kelompok Farisi mengambil jalan religius dengan berpendapat bahwa penjajahan yang dialami itu adalah hukuman Tuhan bagi masyarakat yang meninggalkan aturan-aturan hukum Taurat. Kelompok ini berpendapat bahwa masyarakat akan dibebaskan dari penjajahan jika mereka kembali pada aturan-aturan keagamaan dan menjalaninya secara ketat. Kelompok ketiga adalah kelompok Zelot, yang percaya bahwa perlawanan nyata adalah melalui jalan kekerasan. Kelompok ini pada masa itu terkenal sebagai kelompok ekstremis yang sering membawa belati tersembunyi untuk membunuh lawan politiknya secara diam-diam.
Pada waktu itu, Yesus tidak ikut membenamkan diri dalam ketiga pilihan politik tersebut. Ia tetap kritis terhadap masalah sosial yang terjadi di sekitarnya, tanpa terjebak pada pilihan-pilihan yang dihadapkan itu. Dari sikap ini kita dapat melihat Yesus memahami sikap politik Yesus yang tidak membawa pemisahan dalam bentuk kelompok-kelompok terpisah dan berkonflik itu. Ia tidak seperti orang Eseni yang terjebak pada pesimisme dan pengabaian berdalih religius terhadap keterlibatan politik. Ia tidak seperti orang Saduki yang justru menyerah pada penjajahan. Ia tidak seperti orang Farisi yang terjebak pada kesalehan religius semata dalam menghadapi permasalahan sosial. Ia tidak juga seperti orang Zelot yang menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Rangkaian peristiwa penangkapan, kematian, dan kebangkitan Yesus menegaskan posisi ini. Kematian Yesus memperlihatkan bahwa perbedaan sikap politik itu memang cenderung dapat membawa konflik, yang bahkan dapat mengundang kekerasan. Kematian Yesus mengingatkan kita bahwa risiko-risiko tersebut masih mengintai.
Namun, makna kematian Yesus tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan-Nya juga. Kebangkitan Yesus merupakan penanda ilahi akan kebenaran yang dipegang sepanjang masa kehidupan Yesus. Kebangkitan itu merupakan tanda kemenangan yang membuktikan kehidupan Yesus yang melampaui pilihan-pilihan politik tersebut.
Lebih dari itu, rangkaian kematian dan kebangkitan Tuhan merupakan karya penebusan dosa manusia oleh Tuhan, yang menunjukkan kasih Tuhan yang tak terbatas bagi manusia. Dengan begitu, karya penebusan dosa juga tidak terlepas dari perwujudannya dalam aspek sosial-politiknya. Berbagai keterjebakan pada pilihan politik dapat menutup mata kita dari kasih pada sesama, yang justru merupakan tujuan yang lebih tinggi. Kematian dan kebangkitan Tuhan akan terus mengingatkan bahwa kasih terhadap sesama manusia harus selalu diletakkan di atas segala perbedaan dan pilihan politik.
Rangkaian Trihari Suci tahun ini jatuh hampir bersamaan dengan puncak peresmian hasil pilpres. Pilihan-pilihan politik dalam pemilu waktu lalu masih meninggalkan residu perbedaan dan perpecahan. Kematian Tuhan mewanti-wanti akan adanya risiko perpecahan dan konflik dari perbedaan pilihan politik ini, sedangkan kebangkitan Tuhan membuktikan bahwa kasih, keadilan, dan perdamaian akan selalu melampaui perpecahan dan konflik itu.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…