Narasi

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa. Namun, partisipasi ini sering kali dirusak oleh sikap golput, atau memilih untuk tidak memberikan suara, yang kerap dianggap sebagai bentuk protes. Padahal, nilai-nilai kebangsaan seperti kesatuan, toleransi, dan partisipasi aktif dalam demokrasi juga harus menjadi landasan bagi setiap warga negara.

Selain itu, Islam memberikan arahan jelas tentang pentingnya memilih pemimpin yang layak, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah khalifah, seorang wakil Allah di bumi yang bertugas mengelola dan menjaga kesejahteraan umat. Pemilihan pemimpin adalah amanah besar yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya memilih pemimpin yang layak dalam sabdanya, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari).

Memilih pemimpin bukan hanya soal teknis dalam berdemokrasi, melainkan juga bentuk ibadah. Dalam An-Nisa ayat 58, Allah memerintahkan agar setiap amanah diserahkan kepada ahlinya. Setiap suara yang diberikan oleh masyarakat merupakan bentuk kesaksian yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Partisipasi dalam pemilu merupakan tanggung jawab moral dan spiritual yang melampaui sekadar kewajiban hukum.

Islam menekankan bahwa pemimpin harus memiliki akhlak yang mulia, termasuk sifat jujur, adil, dan amanah. Abu Bakar Ash-Shiddiq, dalam pidatonya setelah diangkat sebagai khalifah, menegaskan, “Ikutilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku.” Ini menunjukkan bahwa kesantunan dan kejujuran adalah landasan utama dalam kepemimpinan.

Kesantunan juga merupakan cerminan nilai-nilai kebangsaan yang menjaga harmoni di tengah keberagaman. Dalam demokrasi modern, kesantunan menjadi kunci untuk menciptakan diskusi yang sehat dan menghindari polarisasi yang merusak persatuan bangsa. Islam mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, seperti yang di tekankan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika yang juga menjadi pilar kebangsaan Indonesia.

Kontestasi politik sering kali memicu perbedaan pandangan yang tajam. Namun, Islam mengajarkan pentingnya toleransi dalam menyikapi keberagaman. Dalam memilih pemimpin, umat Islam dianjurkan untuk menilai berdasarkan kapasitas dan integritas calon, bukan sekadar latar belakang agama, suku, atau kelompok tertentu. Semangat ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Toleransi juga berarti menerima hasil pemilu dengan lapang dada, meskipun hasil tersebut tidak sesuai dengan harapan pribadi. Sebagaimana Abu Bakar diterima sebagai khalifah oleh umat Islam meskipun terdapat perdebatan awal, proses demokrasi harus diakhiri dengan kesatuan untuk kebaikan bersama. Sikap ini penting untuk mencegah perpecahan dan menjaga stabilitas bangsa.

Literasi politik merupakan bekal penting bagi setiap warga negara, khususnya generasi muda seperti mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki tanggung jawab besar untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang amanah dan kompeten. Dengan memahami visi, misi, dan rekam jejak calon pemimpin, masyarakat dapat membuat keputusan yang tepat.

Golput, atau abstain dari memilih, adalah tindakan yang kontraproduktif. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa golput dapat dikategorikan haram jika ada calon pemimpin yang memenuhi kriteria syariat. Dari perspektif kebangsaan, golput adalah pengingkaran terhadap tanggung jawab sebagai warga negara. Setiap suara yang diberikan adalah kontribusi untuk membangun masa depan bangsa.

Dalam Islam, pemimpin adalah sosok yang mampu mengutamakan maslahat umat dan menegakkan keadilan. Al-Mawardi menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat adil, ilmu pengetahuan yang memadai, dan kemampuan untuk melindungi rakyatnya. Nilai-nilai ini selaras dengan cita-cita kebangsaan Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Pemilu dan Pilkada bukan hanya mekanisme demokrasi, tetapi juga momentum untuk mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan ajaran Islam. Dalam setiap suara yang diberikan, terdapat amanah untuk memilih pemimpin yang akan membawa bangsa menuju kesejahteraan. Nilai-nilai agama dan kebangsaan harus berjalan seiring, membentuk masyarakat yang toleran, santun, dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan demokrasi.

Gunakan hak pilih kalian dengan bijak. Jadikan pemilu sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah dan bangsa. Dengan memilih pemimpin yang amanah, kita tidak hanya memperkuat demokrasi, tetapi juga menjaga keutuhan bangsa dan membawa keberkahan bagi masa depan Indonesia.

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

31 menit ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

42 menit ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

1 hari ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

1 hari ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

1 hari ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

1 hari ago