Narasi

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi, khususnya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Pesta demokrasi ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, melainkan juga mempertahankan kerukunan dan keharmonisan sosial yang telah terjaga.

Radikalisme sering memanfaatkan ketegangan politik untuk menyusupkan ideologi ekstrem. Masa kampanye dan tahapan pemilu kerap menjadi ladang subur bagi penyebaran paham yang intoleran. Sebagai contoh, kelompok radikal mungkin mencoba menunggangi isu-isu politik untuk memecah belah masyarakat berdasarkan identitas agama dan etnis. Penting untuk memahami bagaimana politik identitas dapat menjadi jalan masuk radikalisme.

Keterwakilan agama dalam Pilkada terbukti menjadi alat efektif untuk meredam potensi konflik etnoreligius. Wilayah ini, yang pernah dilanda konflik berbasis etnis dan agama akibat dinamika pemekaran daerah, berhasil menciptakan stabilitas sosial melalui politik representasi. Setiap pasangan calon kepala daerah diwajibkan mengusung kombinasi identitas agama yang berbeda Islam dan Kristen. Format ini mencerminkan semangat pluralisme dan rekonsiliasi sosial, menegaskan bahwa keragaman adalah aset, bukan ancaman.

Namun, praktik ini bukan tanpa risiko. Di tangan pihak yang tidak bertanggung jawab, politik identitas dapat berubah menjadi alat mobilisasi massa untuk kepentingan pragmatis, yang justru memperuncing polarisasi. Inilah celah yang sering dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk memecah belah masyarakat. Oleh karena itu, keberlanjutan mekanisme politik inklusif seperti di Mamasa harus terus dijaga dan diperkuat.

Paham radikalisme politik sering kali membawa narasi khilafah sebagai solusi tunggal atas persoalan bangsa. Konsep ini, yang sebenarnya tidak sejalan dengan semangat demokrasi Pancasila, dipasarkan melalui strategi propaganda yang menyasar emosi masyarakat, terutama saat momen-momen politik seperti Pilkada. Menariknya, narasi ini berakar pada keinginan untuk menciptakan struktur kekuasaan tunggal, yang tidak hanya menghapus keberagaman politik tetapi juga membatasi kebebasan individu dan kelompok.

Gerakan radikal sering kali menggunakan ketegangan politik untuk memperkuat klaim mereka bahwa sistem demokrasi adalah sumber kekacauan. Pemanfaatan isu agama dan etnis menjadi senjata utama, seperti yang terlihat dalam kasus radikalisasi di beberapa wilayah pasca-Pilkada.

Pentingnya peran tokoh agama, pemuda, dan masyarakat dalam menjaga kedamaian tidak dapat dikesampingkan. Keterlibatan aktif para tokoh adat dan agama dalam mengarahkan pemilu ke arah yang sehat menjadi kunci keberhasilan resolusi konflik. Pendekatan ini, yang menitikberatkan pada dialog dan kompromi, perlu diadopsi secara lebih luas untuk menangkal ancaman radikalisme.

Selain itu, masyarakat harus lebih kritis dalam menyaring informasi. Maraknya berita hoaks yang sering kali menjadi alat penyebaran paham radikal menuntut kita untuk memiliki literasi media yang kuat. Kesadaran ini juga harus dibarengi dengan penguatan jiwa nasionalisme yang menghargai perbedaan.

Pada akhirnya, keberhasilan Pilkada 2024 bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga suasana damai dan menghormati perbedaan. Konsep demokrasi lokal seperti di Mamasa menunjukkan bahwa keberagaman tidak harus menjadi penghalang, melainkan justru modal sosial yang memperkuat demokrasi. Untuk itu, diperlukan komitmen dari semua pihak, baik penyelenggara pemilu, kandidat, maupun masyarakat umum, untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan, toleransi, dan inklusivitas.

Radikalisme politik yang menggaungkan konsep khilafah harus dilihat sebagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan bangsa. Menghadapi tantangan ini, kita harus memperkokoh demokrasi substantif yang mampu mengakomodasi semua golongan. Pesta demokrasi harus menjadi ajang perayaan persatuan dalam keragaman, bukan arena konflik yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Septi Lutfiana

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

3 hari ago

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik:…

3 hari ago

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng Dunungipun tauhid wonten ening Ma’rifat wonten eling —Serat Pengracutan, Sultan…

3 hari ago