Categories: Narasi

Memperkenalkan Islam Damai

Sekitar pertengahan tahun 2013, saya bertemu seorang traveler asal Perancis, sebut saja Nay. Ia dan pacarnya yang juga orang Perancis sudah berkelana ke berbagai negara selama kurang lebih setengah tahun. Mereka berdua adalah insinyur di perusahaan otomotif ternama asal negara mereka dan sedang mengambil cuti setahun untuk bisa melihat dunia dengan berbagai wajahnya.

Saat bertemu kami bicara tentang banyak hal dan setelah ia tahu bahwa saya sedang belajar Kajian Agama dan Lintas Budaya, pembicaraan kami pun merambah ke agama, terutama Islam. Ia mengaku bahwa sebelum melakukan perjalanan keliling dunia, ia berfikir Islam adalah agama yang buruk, bahkan mengerikan. Hal ini disebabkan karena apa yang ia lihat dan dengar tentang Islam di Perancis tidaklah bagus.

Media-media di sana hampir selalu menggambarkan Islam sebagai agama para teroris, penindas perempuan, pendukung pembunuhan atas nama kehormatan, dan berbagai cap buruk lainnya. Pengalaman pribadinya dengan Islam di Prancis juga menguatkan pandangan buruk atas Islam, dimana ia dengan mata kepala sendiri menyaksikan betapa perempuan-perempuan Muslim yang ia temui tidak pernah bergaul dengan orang di luar golongannya. Mereka terkekang dan hanya menjadi properti bagi suami-suami mereka. Mereka hanya akan berkumpul dan berbicara kepada kelompok mereka sendiri.

Tetapi ada satu hal yang mengejutkan, ternyata kakak perempuannya, sebut saja Beth, telah masuk Islam kurang lebih 15 tahun yang lalu. Sayangnya, kisahnya tidaklah indah. Beth masuk Islam setelah bertemu dengan seorang pria Muslim yang kelak menjadi suaminya. Kata Nay, setelah Beth masuk Islam, Beth memutuskan silaturahmi dengan keluarganya hanya karena mereka adalah non-Muslim. Nay bisa menerima hal tersebut karena ia berusaha menghormati keputusan kakaknya, tetapi untuk ibu mereka, hal itu tentu sangat menyayat hati. Terlebih lagi, suami Beth kerap menempatkannya sebagai kaum kelas dua, sehingga ia merasa berhak untuk berkata dan berlaku kasar pada istri. Kemalangan ini ternyata tidak hanya berhenti di situ, si suami belakangan juga diketahui mengajari anak laki-lakinya untuk memukul ibunya sendiri.

Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, Nay sedikit merasa was-was karena ia tahu bahwa Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia. Dengan gambaran Islam yang sangat buruk di tanah airnya, tentu ia cemas. Namun ternyata kecemasannya tidak berlanjut, sebab apa yang ia lihat di Indonesia benar-benar mengubah sudut pandangnya tentang Islam. Islam yang ia lihat di sini sangatlah berbeda dengan Islam yang ia tahu di Perancis.

Di Indonesia, ia bertemu banyak perempuan Muslim, sebagian besar dari mereka mengenakan jilbab, tapi mereka bergaul dengan siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, agama, etnis, dan perbedaan lainnya. Saya pun tergelitik untuk bertanya, “Apa yang ada di benakmu tentang perempuan berjilbab sebelum datang ke Indonesia?” Seperti yang saya duga, ia menjawab bahwa sebelumnya ia berpikir perempuan berjilbab adalah kaum tertindas. Perempuan berjilbab yang ia lihat di Perancis hanyalah seperti bayang-bayang, katanya. “Mereka ada di sana, tapi tidak benar-benar ada. Seolah-olah mereka itu tidak nyata.”

Di Perancis, saat ia berbicara dengan perempuan Muslim, ia bisa merasakan bahwa ia dan perempuan tersebut sangatlah berbeda. Ia pun tak pernah membayangkan akan merasa nyaman bergaul dengan perempuan berjilbab, karena ia mengira perempuan Muslim hanya akan tinggal di rumah melayani suami dan merawat anak. Tetapi semua itu nyatanya tidak terjadi ketika ia bertemu dengan perempuan-perempuan muslim di Indonesia, perasaan berbeda itu tidak lagi ada. Ia merasa bahwa ia sedang bicara dengan sesama perempuan, itu saja.

Sangat mengejutkan untuknya bahwa perempuan-perempuan Muslim yang ia kenal di sini benar-benar ceria dan terlihat bahagia. Ia tidak pernah melihat hal itu di Perancis. Ia bahkan menganggap salah satu kawan saya yang berjilbab, yang telah mengantarnya berkeliling Yogya selama beberapa hari, sebagai adiknya sendiri. Suatu hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya.

Tentu saja umat Muslim di Indonesia masih perlu berbenah karena masih banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam. Tetapi, dari impresi yang didapat Nay, Islam yang damai sepertinya telah bersemi di bumi nusantara.

This post was last modified on 30 April 2015 10:22 AM

Imma Khoiriyah

Mahasiswi tingkat akhir di program internasional pascasarjana CRCS UGM. Menulis thesis tentang fenomena fashion hijab di Indonesia. Ia adalah penerjemah dan editor independen yang bermukim dan berkarya di Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago