Narasi

Menabuh Genderang Melawan Narasi Kebencian

Dalam konteks negeri yang plural, gesekan dan permusuhan merupakan dua hal yang pasti terjadi. Kita tidak bisa menghindarinya, namun kita bisa meminimalisir atau mencegahnya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, potensi permusuhan semakin nyata. Terlebih pada tahun perhekatan pesta politik tahunan. Karena banyak kelompok yang berkepentingan, permusuhan yang diawali dengan ujaran kebencian mencuat.

Sejatinya, ujaran kebencian yang mengarah pada perusakan karakter seseorang atau kelompok bukan hanya menimpa Indonesia, melainkan hampir di seluruh penjuru dunia, namun kadarnya yang berbeda-beda.

Sebagai penguat, penulis sajikan temuan survei Wahid Foundation belum lama ini. Suka tidak suka, penulis harus katakan bahwa hasil survei tersebut menunjukkan betapa kebencian telah menjadi bagian signifikan dari wajah kekinian kita. Kebencian bisa diekspresikan dengan berbagai macam, namun yang paling mudah dan lumrah adalah ditunjukkan melalui ketidaksukaan terhadap suatu orang atau kelompok. Dan inilah yang dilakukan oleh Wahid Foundation.

Telah diungkapkan dalam survei bahwa kelompok yang tidak disukai ini antara lain; Komunis (21,9%), LGBT (17,8%), Yahudi (7,1%) dan Kristen (3,0%). Selain kelompok di atas, atheis, China, Syiah, Wahabi, Katolik dan Buddha juga masuk dalam daftar kelompok yang tak mereka sukai.

Tidak suka atau benci akan melahirkan sikap fanatisme. Sehingga, apa yang dikatakan atau dilakukan oleh kelompok yang dibenci, sekalipun melakukan kebaikan, akan dianggap dan selalu dicap jelek. Dan sikap fanatisme ini jika dipelihara secara terus-menerus, akan melahirkan sebuah luapan kemarahan yang bisa berujung pada tindak kekerasan. Dari sinilah bibit radikalisme bisa tumbuh.

Beberapa Dampak Negatif

Ada beberapa kerugian yang akan timbul akibat ujaran kebencian. Pertama, memudarkan tali persaudaraan. Bangsa Indonesia bisa bersatu bukan karena agama, budaya, dan ras, melainkan karena satu tujuan utamanya, yakni mewujudkan Indonesia aman, nyaman, sejahtera, dan santosa. Semua itu diikat dalam tali persaudaraan. Jika ujaran kebencian sudah merebak, maka rasa persaudaraan dan persatuan secara otomatis akan terkikis. Lambat laun akan hilang. Puncaknya, timbullah perpecahan.

Kedua, memukul mundur jauh ke belakang. Indonesia sudah berada di depan pintu gerbang kemajuan. Banyak indikator fisik yang bisa menguatkannya. Akan tetapi, semua itu akan hanya menjadi mimpi disiang bolong jika kondisi masyarakatnya tidak kuat, saling menaruh curiga, bertengkar, dan lain sebagainya. Permusuhan, entah dimulai dalam bentuk ujaran kebencian dan lainnya, hanya akan membawa Indonesia terlempar jauh ke belakang.

Melawan dengan Narasi Perdamain

Mengingat dampak negatif narasa kebencian begitu luar biasa, maka segenap bangsa Indonesia, mulai dari tukang cuci piring, ketua RT, Mahasiswa, sampai Presiden Republik Indonesia harus bersama-sama menabuh genderang perang melawan narasi ujaran kebencian.

Ujaran kebencian harus dilawan dengan narasi perdamaian. Narasi perdamaian harus disajikan dalam bentuk yang inovatif. Hal ini dimaksudkan untuk menyusuaikan ‘selera pasar’ generasi zaman now.

Konten-konten perdamaian harus dinarasikan sedemikian apiknya dan dibungkus dalam berbagai cara; dari tulisan sederhana, foto yang gokil (meme), dan video pendek yang menghibur dan mengedukasi.

Tentu genderang perang melawan narasi kebencian, dalam lingkup terkecil, bisa dimulai dari diri sendiri. Banyak cara yang bisa dilakukan. Paling mudah dan tidak memerlukan banyak modal atau fikiran adalah menge-share konten-konten perdamaian di media sosial. Sementara konten yang berbai ujaran kebencian, harus ditenggelamkan. Langkah ini diperlukan agar tidak semakin memperkeruh keadaan. Sebab, masyarakat saat ini lebih suka menge-share konten yang berbuau provokasi dan sejenisnya ketimbang konten yang menyejukkan.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

3 jam ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

3 jam ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

3 jam ago

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

1 hari ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

1 hari ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

1 hari ago