Narasi

Menanggalkan Intoleransi: Pembelajaran Sederhana Kearifan Masyarakat Perairan

ketika tersebutkan Kata toleransi, mungkin hanya akan membawa bayangan kita pada ruang saling menghargai antara satu pemeluk agama dengan lainnya, meskipun pada gilirannya, tafsiran menghargai sendiri kemudian punya keragaman tersendiri. Dalam beberapa kesempatan, kata ini seolah sangat eksklusif, sebab identik dengan keberagaman agama dan ritus-ritusnya yang menuntut untuk dihargai. Sekilas, kata toleransi seolah sangat berjarak dari kehidupan manusia langsung pada umumnya. Sehingga menarik, bila kemudian mencoba mengulik implementasi kata ini dalam realitas kehidupan sehari-harinya.

Salah satu hal yang menarik dalam melihat implementasinya adalah bila menilik pada kehidupan masyarakat yang hidup di wilayah perairaan. Riwayat bangsa ini yang dulunya hidup dan berjaya di wilayah maritim dengan semboyan besar “Jalesveva Jayamahe”, membuat masyarakat hari ini mestinya mampu hidup dan mengambil nilai-nilai penting kehidupan. Namun kenyataan yang tersaji justru sebaliknya. Jangankan mampu memahami nilai-nilai penting macam ide toleransi untuk kemudian direplikasi dalam kehidupan hari ini, perairan dan kehidupannya seolah dijauhi dan hanya menjadi tempat pembuangan sampah saja. Sehingga menarik untuk kembali menukil hal kecil yang sudah lama ada sebagai sebuah pembelajaran bersama, terutama ketika tingginya angka intoleransi yang menjepit akal sehat semua pihak.

Penghargaan yang Tinggi Terhadap Manusia

Bagi masyarakat perairan, kisah-kisah mengenai toleransi atau dalam pemaknaan yang lebih sederhana, relasi yang saling menghargai antara satu dengan yang lain, hadir dalam berbagai kesempatan. Wujud nyata-nya bahkan sangat sederhana namun sejatinya menubuh dalam kehidupan dan keseharaian mereka. Salah satu di antaranya hadir di wilayah Kalimantan Timur, persisnya di desa Muara Pantuan. Kisah yang terdapat di sini, sepertinya adalah representasi kisah yang banyak terjadi di wilayah pemukiman perairan lainnya.

Desa yang berada di wilayah kabupaten Kutai Kertanegara ini, berjarak tidak jauh dari laut lepas menuju selat Makasar. Sehingga kondisi ini seolah “memaksa” masyarakatnya untuk berupaya menyiasatinya bersama keadaan yang ada. kesetiakawanan kemudian hadir dan mewujud-nyata antar individu. Kondisi wilayah pemukiman yang berjarak sangat jauh dari wilayah daratan menghadirkan tantangan tersendiri bagi masyarakat di wilayah ini.

Kondisi lapangan tersebut mendorong masyarakat untuk seolah semakin mengeratkan kohesifitas yang ada di antara mereka. Sehingga bila ada upaya pemenuhan kebutuhan untuk dapat bepergian menggunakan transportasi air ke wilayah daratan atau wilayah desa perairan lainnya – entah itu menggunakan perahu besar atau pun perahu kecil, maka informasi tersebut akan saling tersebar luas. Sehingga pada gilirannya, orang-orang yang ingin turut serta atau pun sekedar menitipkan sesuatu, dapat menggunakan kesempatan yang ada tersebut. Seringkali malah tanpa bayaran/upah di antara mereka. Dalam beberapa kondisi yang insidental, kesetiakawanan yang ada di antara masyarakat bahkan sampai memunculkan pejuang-pejuang yang rela berkorban untuk sesamanya.

Kisah saling menghargai lainnya tercermin secara nyata dalam aktivitas penduduknya ketika menggunakan perahu motor yang ada. Masyarakat di daerah ini nampaknya serupa dengan banyak masyarakat yang tinggal di wilayah perairan lainnya. Rasa salaing menghargai sesama manusia jelas tercermin dalam sikap mereka sehari-hari. Misalnya saja yang paling sederhana adalah ketika kapal atau pun perahu bermotor hendak melewati pemukiman penduduk atau pun perahu/kapal yang lebih kecil, maka biasanya tindakan yang dilakukan perahu atau kapal bermotor yang besar adalah dengan mengurangi kecepatan. Tujuannya sendiri adalah mengurangi riak/gelombang air yang ditimbulkan karena mesin yang menggerakkan perahu motor tersebut akan menghadirkan guncangan.

Sekilas mungkin hal ini sederhana dan tidak penting, namun bila mencoba memahami hal itu dari sisi penduduk lokal, maka setidaknya ini bisa dipahami sebagai bentuk saling menghargai satu dengan yang lain. Sebab gelombang/riak yang hadir bisa mengganggu apa pun yang terkena olehnya. Tidak jarang bila sikap sembrono yang dipakai, malah bisa merugikan banyak pihak. Karena gelombang air yang tercipta bisa menenggelamkan perahu yang kecil hingga merusak pemukiman penduduk.

Menariknya hal tersebut seolah sudah menjadi habitus bersama masyarakatnya. Sehingga tanpa pun ada rambu-rambu yang mengharuskan mereka menurunkan kecepatan, biasanya para pengemudi perahu atau pun kapal-kapal bermotor akan melakukannya dengan tanpa paksaan. Mereka seolah menyadari bersama bahwa apabila sikap sembrono dan tidak bertanggung jawab dalam berkendara di air dilakukan, maka imbas yang hadir akan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri. Sehingga pilihan untuk menghindari sikap tidak terpuji menjadi pilihan sadar yang dilakukan mereka tanpa paksaan. Tentu pada gilirannya, intrik yang mungkin timbul pun tidak mencuat kepermukaan. Hal ini jauh berbeda bila kita melihat dalam keseharian masyarakat yang tinggal di daratan. Terkadang sikap intoleran hadir dalam ruang berkendara masing-masing orang. Tak ayal kesembronoan tersebut acap kali menyeret banyak korban jiwa.

Bila masyarakat yang tinggal di wilayah perairan mampu hidup bersahaja dan menghadirkan sikap toleran yang telah menubuh dalam keseharaian mereka, mestinya nilai-nilai semacam itu pula mampu direplikasi dengan pola-pola yang khas wilayah lainnya. Sehingga benih-benih toleransi pun akan semakin tersebar dan mewujud-nyata dalam setiap kehidupan masyarakat yang kerap diidentikkan sebagai masyarakat yang ramah budayanya ini. Bila dalam hal-hal sederhana benih-benih penghargaan bisa terus bersemi, maka perlawanan terhadap banyak wujud intoleransi yang hari ini sepertinya tak henti mewabah dapat menjadi perlawanan bersama, khususnya melalui aspek keberagaman yang dimiliki bangsa ini.

This post was last modified on 4 Februari 2021 3:23 PM

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago