Umat Islam di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia baru saja melewati momen spesial hari raya Idul Fitri 1438 Hijriah (H). Meski begitu, tidak bisa dimungkiri ada setitik kesedihan karena mesti meninggalkan bulan Ramadhan yang notabene penuh rahmat dan hidayah di dalamnya. Dalam Hadist Riwayat (H.R) Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan, manakala berbuka puasa, ia bergembira dengan buka puasanya, dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya”. Dengan telah terlewatinya bulan Ramadhan, sudah tentu dua kegembiraan sebagaimana yang diriwayatkan dalam H.R Bukhari dan Muslim pun akan turut berlalu pula.
Bermula dari titik itulah, meski secara historis Idul Fitri lebih lebih tepat dimaknai sebagai Hari Raya Buka Puasa, tetapi kemudian lebih dimaknai sebagai Hari Raya Kemenangan karena nilai-nilai perjuangan yang terkandung di dalamnya. Jamak disadari, selama bulan Ramadhan kita diwajibkan untuk berpuasa, baik lahiriah maupun batiniah. Selain itu, secara tidak langsung kita juga diwajibkan untuk memperbanyak (amal) ibadah. Bila semua kewajiban tersebut dapat terlaksana, maka disitulah makna “kemenangan” yang sebenarnya dari Idul Fitri. Namun demikian, yang kerap menjadi persoalan bahwa makna “kemenangan” ber-Idul Fitri itu kemudian tidak serta merta ditransformasikan ke dalam laku kebajikan. Hal ini secara sederhana misalnya dapat dilihat dari perayaan Idul Fitri yang acapkali cenderung bernuansa pesta pora. Bahkan tak jarang, secara terang benderang malah dijadikan sebagai ajang saling pamer benda-benda keduniawian yang dimilikinya.
Berpotensi Memecah Belah Persatuan
Dalam konteks ukhuwah islamiyah, realitas seperti itu jelas mempunyai potensi besar untuk memecah belah persatuan umat. Pun dalam konteks kebhinekaan negara ini, berlebih-lebihan dalam merayakan Idul Fitri hanya akan memantik isu ketimpangan sosial yang pada akhirnya berpotensi menyulut radikalisme maupun terorisme. Mengutip pernyataan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Dr KH. Nasarudin Umar menyatakan bahwa radikalisme dan terorisme adalah momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, seyogianya dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri kita tidak memantik segala aspek yang dapat menumbuhkan tindakan radikal maupun aksi terorisme. Sikap demikian penting untuk terus dilakukan secara berkelanjutan meski Hari Raya Idul Fitri telah berlalu.
Maka itu pasca merayakan Idul Fitri, kita sepatutnya merenungkan firman Allah yang tertuang dalam Surat Al Hujarat ayat 10. Yakni, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Secara implisit, ayat tersebut jelas sekali menegaskan bahwa umat Islam merupakan saudara antara satu dengan yang lainnya. Umat Islam adalah satu kesatuan meskipun berasal dari beragam suku, bahasa, bahkan negara. Sehingga dalam konteks Idul Fitri, mentransformasikan laku kebajikan minimal bisa diwujudkan dengan laku (perbuatan) yang mampu mempererat rasa persaudaraan dan kerukunan diantara sesama muslim.
Secara teknis bisa dilakukan dengan beragam cara, mulai dari hanya dengan sekedar mengucapkan salam ketika berpapasan, tidak memamerkan harta keduniawian ketika bersilaturahmi (halal bi halal), hingga membagikan sedikit rizki kepada masyarakat yang kurang mampu. Dengan pelbagai upaya sederhana demikian, baik ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri maupun pasca Hari Raya Idul Fitri, selain akan mampu merawat rasa persaudaraan dan kerukunan diantara sesama muslim juga akan mendapatkan rahmat (amal) dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Hujarat ayat 10 tersebut.
Akhir kata, hendaknya kita tidak setengah-setengah dalam memaknai “kemenangan” Hari Raya Idul Fitri. Dalam surat Al Baqarah ayat 85 Allah SWT berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?. Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat pada hari kiamat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.
Oleh karenanya, mutlak bagi kita untuk tidak hanya terlarut dalam aspek kebahagiaannya semu semata dalam merayakan Idul Fitri. Akan tetapi, kita juga mesti merefleksikannya dalam laku perbuatan yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, Hari Raya Idul Fitri yang baru saja kita rayakan bersama, akan betul-betul membawa rahmat tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga masyarakat, bangsa dan negara ini. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1438 H, taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.
This post was last modified on 7 Juli 2017 10:51 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…