Narasi

Mencegah Bullying dan Intoleransi di Sekolah: Menutup Jalan Menuju Radikalisme dan Terorisme

Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak: tempat mereka bertumbuh, menemukan jati diri, dan belajar hidup bersama dalam keberagaman. Namun, dua ancaman laten terus mengintai dunia pendidikan kita: bullying dan intoleransi. Keduanya sering dianggap sebagai masalah perilaku biasa, padahal dalam jangka panjang dapat menjadi pintu masuk menuju radikalisme dan bahkan terorisme. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kekerasan yang dialami atau disaksikan anak di lingkungan sekolah memengaruhi cara mereka memandang dunia—apakah dunia ini tempat yang adil dan aman, atau sebaliknya penuh permusuhan yang harus dilawan. Persepsi negatif inilah yang kerap dimanfaatkan kelompok-kelompok ekstrem untuk merekrut anak muda yang rapuh secara emosional.

Bullying tidak hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga penghinaan verbal, pengucilan sosial, hingga perundungan berbasis identitas seperti suku, agama, ras, atau perbedaan penampilan. Anak yang menjadi korban bullying biasanya mengalami penurunan harga diri, kemarahan terpendam, bahkan trauma yang menggerus kepercayaan mereka terhadap institusi sekolah. Ketika korban tidak mendapatkan dukungan yang memadai, mereka mulai mencari rasa aman, penerimaan, atau “kelompok pengganti” di luar lingkungannya. Ruang digital sering menjadi pelarian, dan di sanalah kelompok radikal menunggu dengan propaganda yang menawarkan solidaritas semu dan narasi balas dendam yang memikat bagi orang yang terluka.

Intoleransi memiliki karakter yang lebih kompleks. Saat sekolah gagal menumbuhkan penghargaan terhadap perbedaan, siswa mudah terjebak dalam pola pikir ingroup-outgroup—keyakinan bahwa kelompoknya paling benar, sementara kelompok lain salah, sesat, atau ancaman. Pemikiran seperti ini menjadi lahan subur bagi ideologi radikal. Ketika siswa terbiasa melihat yang berbeda sebagai musuh, maka narasi ekstrem menjadi lebih mudah diterima. Radikalisme tidak selalu bermula dari nalar teologis yang rumit; sering kali akar pertamanya adalah ketidakmampuan menghargai perbedaan dalam kehidupan sehari-hari.

Keterkaitan antara bullying, intoleransi, dan radikalisme bukanlah hubungan linear, tetapi ekologi yang saling menguatkan. Anak yang mengalami bullying bisa tumbuh dengan kemarahan yang membuka celah bagi manipulasi ekstremis. Sementara itu, anak yang terbiasa melakukan bullying atas dasar identitas bisa berkembang menjadi pelaku intoleransi yang lebih keras. Jika ideologi ekstrem masuk pada fase ini, perilaku diskriminatif dapat berubah menjadi pembenaran kekerasan. Tidak sedikit kasus kekerasan ekstrem di dunia yang bermula dari pengalaman sosial di sekolah yang buruk: rasa terasing, dendam, dan pencarian identitas yang salah arah.

Karena itu, pencegahan bullying dan intoleransi bukanlah sekadar tugas guru bimbingan konseling, tetapi fondasi keamanan nasional jangka panjang. Sekolah perlu mengembangkan ekosistem yang menumbuhkan empati, dialog, dan resolusi konflik. Pendidikan karakter bukan cukup dengan slogan, tetapi harus hadir dalam metode pembelajaran, interaksi guru–siswa, serta kebijakan sekolah. Guru perlu dilatih untuk mendeteksi tanda-tanda awal bullying maupun narasi intoleran, termasuk bentuk-bentuk digital seperti cyberbullying atau ujaran kebencian di grup kelas.

Peran orang tua tak kalah penting. Banyak kasus intoleransi dan radikalisasi muncul dari kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak. Ketika anak merasa tidak didengar di rumah maupun di sekolah, mereka lebih mudah mencari “tempat lain” untuk bercerita—dan ruang itu tidak selalu sehat. Orang tua perlu memahami dunia digital anak, membangun kelekatan emosional, dan memberikan ruang dialog tanpa penghakiman. Lingkungan sosial yang suportif adalah perisai pertama terhadap ideologi kekerasan.

Komunitas sekolah juga harus memastikan ruang aman bagi keberagaman: tempat siswa merasa dihargai tanpa memandang agama, suku, latar belakang ekonomi, atau identitas lainnya. Kegiatan lintas budaya, proyek kolaboratif antarkelompok, hingga forum dialog di kelas dapat memperkaya pemahaman siswa tentang pluralitas. Ketika perbedaan dipandang sebagai kekuatan, bukan ancaman, ideologi kekerasan kehilangan daya tariknya.

Menutup pintu radikalisme tidak selalu dimulai dari pelatihan kontra-narasi atau program deradikalisasi. Terkadang, upaya paling efektif justru dimulai dari hal yang sederhana: memastikan tidak ada anak yang merasa sendirian, ditindas, atau dianggap tidak penting. Sekolah yang menghormati martabat setiap warganya adalah benteng terkuat dalam melawan intoleransi dan ekstremisme. Ketika anak tumbuh dalam suasana aman dan inklusif, mereka belajar bahwa kekerasan bukan cara hidup—dan dunia, betapapun rumitnya, selalu bisa diperbaiki melalui kemanusiaan, bukan permusuhan.

This post was last modified on 2 Desember 2025 9:00 AM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Kampanye Khilafah di Momen Bencana; Dari Krisis Ekologis ke Krisis Ideologis

Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…

1 hari ago

Menjadi Khalifah di Muka Bumi: Melindungi Alam dari Penjahat Lingkungan, Menjaga Kehidupan Umat dari Propaganda Radikal

Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…

1 hari ago

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…

1 hari ago

Ksatria dan Pedagogi Jawa

Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…

4 hari ago

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…

4 hari ago

Pendidikan Bela Negara dan Moderasi Beragama sebagai Benteng Ekstremisme

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga persatuan…

4 hari ago