Di era digital, para orangtua dilanda problematika pengasuhan anak yang begitu kompleks. Di sisi lain, piranti digital diperlukan untuk melancarkan pekerjaan dan komunikasi. Namun di sisi lain, banyak orangtua yang merasa sulit membagi waktu dengan keluarga. Bahkan ketika di rumah, piranti digital semisal ponsel pintar seolah tak bisa lepas dari genggaman. Anak-anak pun mengalami kegersangan jiwa. Tak jarang, orangtua tidak memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup pada anak. Alhasil, banyak anak-anak tidak mendapat pengasuhan yang cukup.
Pelan namun pasti, dampak pengasuhan yang sangat minim memberi kontribusi bagi merebaknya kasus kenakalan remaja, agresivitas, dan gangguan perilaku. Faktanya, penyimpangan perilaku pada anak dan remaja semakin merebak. Tidak sedikit anak dan remaja yang melakukan tindakan kriminal dan radikal. Jika tidak disikapi dengan bijak, teknologi digital hanya akan mencederai kesejahteraan. Pada titik inilah, penting bagi para orangtua untuk mengevaluasi kualitas pengasuhan. Jangan sampai orangtua mengalami kecanduan terhadap ponsel pintar hingga mengesampingkan tugas mulianya, mengasuh anak.
Shin Yee-Jin (2013) mengemukakan bahwa anak tidak mendapatkan pengasuhan yang cukup akibat orangtuanya kecanduan piranti digital. Hal itu memicu terjadinya berbagai masalah emosional. Anak pun tumbuh dengan emosi negatif dan tidak bisa mengendalikan kesedihan, kegelisahan, atau amarah dengan baik. Anak yang sejak lahir berpembawaan lembut pun bisa berubah menjadi anak yang emosional jika tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orangtuanya.
Tidak banyak yang menyadari bahwa piranti digital dapat menciptakan anak-anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Pada titik inilah, para orangtua mesti menyadari bahwa piranti digital tidak digunakan semata-mata untuk kesenangan pribadi. Idealnya, keputusan menjadi orangtua digital tidak hanya didorong untuk mengikuti perkembangan zaman, melainkan mengimbangi anak-anak yang secara tidak langsung menjadi bagian dari generasi digital. Ketika anak menjadi bagian dari generasi digital, orangtua pun harus menyesuaikan diri dan mengiringi ritme dengan fleksibel.
Meski godaan untuk berselancar di dunia maya begitu menggiurkan, para orangtua semestinya mampu menahan diri. Pasalnya, anak-anak tetap membutuhkan quality time dengan orangtua. Jangan sampai, orangtua menurutkan keinginan dan mengorbankan waktu yang menjadi hak anak. Agar tidak sampai kecanduan piranti digital, orangtua harus tegas terhadap diri sendiri. Bila perlu, luangkan waktu di rumah khusus untuk keluarga. Jika terpaksa harus membuka piranti digital, tetapkan sedikit waktu khusus sehingga tidak mengganggu kualitas komunikasi dengan anggota keluarga. Secara tidak langsung, sikap ini akan memberi pelajaran berharga bagi anak sehingga dirinya pun akan terinspirasi untuk bijak menggunakan piranti digital.
Selain memberikan pengasuhan yang baik, orangtua digital juga diharapkan untuk mengajarkan pola pemakaian teknologi secara sehat. Misalnya, meski dalam belajar dan mencari informasi anak-anak sudah terbiasa googling, tanamkan pula model pencarian referensial dengan membaca buku. Pun dalam memilih buku, orang tua mesti selektif. Jangan sampai, anak-anak menyerap paham radikalisme yang salah kaprah. Dengan begitu, anak-anak akan terbiasa dan menikmati aktivitas membaca. Orangtua juga perlu memberi informasi pada anak mengenai manfaat dan akibat buruk internet. Dengan begitu, diharapkan anak-anak dapat memiliki pengetahuan yang berarti untuk menjelajahi dunia maya.
Selain mengajarkan internet sehat dan menggunakan ponsel pintar secara cerdas, orangtua juga perlu menolong anak-anaknya untuk menjadi generasi yang cyber Smart. Sebab, ketidakdewasaan anak dalam menggunakan piranti digital hanya akan menambah banyak masalah pada emosi dan perilaku. Pratama (2012) memaparkan bahwa generasi cyber smart adalah generasi yang mampu memetik berbagai keuntungan dan manfaat dari kemajuan teknologi digital dan mengeliminir aspek negatif yang mengikutinya. Generasi cyber smart tidak terjadi begitu saja.
Anak-anak membutuhkan peran orangtua agar mampu menjadi generasi digital yang berdaya. Tanpa kecerdasan dalam memanfaatkan piranti digital, bukan tidak mungkin anak-anak dapat terjerumus pada perilaku menyimpang. Kecanduan games, judi on line, kecanduan melihat pornografi, dan lain sebagainya merupakan dampak negatif penggunaan teknologi yang tidak bijak. Dalam hal ini, orangtua harus memberikan arahan, bimbingan, dan pantauan. Kemampuan orangtua menanamkan nilai-nilai agama dan kebaikan merupakan modal utama untuk mencetak anak dengan kendali diri yang kuat, santun, dan penuh spirit perdamaian. Wallahu’alam.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…