Narasi

Menciptakan Ruang Publik Virtual yang Sejuk

“Di saat seharusnya kita semua bersatu padu berkerjasama melawan pandemi, yang justru kita lihat adalah masih terjadinya perpecahan dan rivalitas yang semakin menajam.” Demikian komentar Jokowi pada 23 September 2020 lalu.

Apa yang dikatakan oleh Pak Presiden ini 3 bulan yang lalu, justru semakin menguat sampai sekarang. Kita lihat, media sosial sebagai ruang publik virtual kita, penuh dengan caci-maki, provokasi, dan bentuk ujaran kebencian lainnya yang berujung pada meningkatnya perpecahan di antara kita.

Waktu kita terkuras dengan pro-kontra UU Cipta Kerja. Tenaga kita habis membahas tentang Pilkada, dan sekarang, kita harus mengeluarkan energi banyak akibat ulah dari hura-hara yang dilakukan oleh FPI dan simpatisannya.

Media sosial kita penuh dengan debu permusuhan. Menguatnya sikap bahwa kelompoknya paling benar. Munculnya ekskulsifas yang memaksa pemahamannya kepada orang lain. Lahirnya para juru dakwah yang perkataannya justru jauh dari nilai agama itu sendiri.

Seolah-seolah ruang publik virtual kita tak pernah sepi dari kegaduhan dan keributan. Semua ini adalah debu yang harus kita hilangkan.

Menonjolkan Kelompok

 Salah satu sifat agama yang mencuat saat ini –terutama di media sosial –adalah agama performatif, yakni agama yang ditonjol-tonjolkan kepada orang lain. Demikian komentar Clifford Gerts. Efeknya, ekspresi keagamaan –baik itu ritual maupun sosial –sering kali terjadi gesekan, konflik, bahkan pertikaian.

Demi untuk menonjolkan agama saya, tidak jarang agama dia, direndahkan. Demi mengagungkan agama kami, sering kali agama mereka dianggap tak ada apa-apanya. Sikap eksklusif, marasa paling unggul, baik, dan agung, dalam tataran pergaulan –apalagi dengan adanya penetrasi media sosial, tentu sangatlah bermasalah.

Terlebih saat pandemi ini. Di tengah situasi yang mencemaskan, bukan hanya aspek ekonomi yang kena imbasnya, pola keberagamaan pun berubah. Intraksi hanya sebatas di sosial media. Penyerapan informasi hanya lewat sumber on-line. Ritual ibadah terbatas di rumah. Ini semua berakibat langsung kepada pola pikir dan sikap kepada orang lain.

Saat pendemi ini, manusia tak obahnya seperti rumput kering, ringan dan mudah dikumpulkan, tetapi gampang terbakar. Pun demikian situasi saat ini. Kita dengan mudah terporovokasi dengan berita-berita hoax, provokasi, dan ujaran kebencian. Ketakutan, kecemasan, dan serba ketidakpastian membuat orang mudah diprovokasi.

Provokasi dan sentimen negatif terhadap agama lain. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan tim medis. Kecurigaan terhadap terori konspirasi –apalagi yang dituduhkan sebagai dalang di balik konspirasi itu adalah pihak tertentu. Tudahan yang tak mendasar, bahwa banyak kebijakan pemerintah yang “difitnah” sebagai anti-Islam.

Sikap dan tindakan seperti ini sangat menghambat dalam perang malawan pandemi. Kita butuh satu sikap –yang dengan sikap itu –kita semua merasa optimis untuk menatap masa depan. Satu pandangan hidup yang tidak ekstrim, melainkan membuat kita merasa aman dan nyaman.

Menebar Kesejukan

Di tengah situasi seperti ini, hal yang perlu kita lakukan adalah menebar kesejukan di ruang publik virtual kita. Narasi perpecahan yang mau merusak kebhinekaan harus diimbangi dengan narasi persatuan yang bisa mengakomodasi semua perbedaan yang ada.

Kita tidak boleh terjebak pada sekterianisme, arogansi, dan marasa diri kamilah yang paling benar, lain salah. Kita harus sama-sama merawat pluralitas agama dan budaya bangsa ini. Sikap saling menjaga, saling memahami, dan saling memberdayakan harus kita tebarkan lewat media sosial.

Logika api dibalas api tentu tidak bisa dilakukan di media sosial. Ujaran kebencian dibalas dengan ujaran kebencian. Provokasi dibalas dengan provokasi. Rasisme dibalas dengan rasisme. Semua ini hanya akan memperlebar jarak di antara kita.  

Yang perlu kita lakukan adalah mengisi media sosial dengan keteduhan, kesejukan, dan kedamaian. Jika ada hoax, segara cek fakta kebenarannya. Jangan langsung diterima begitu saja. Jika ada ujaran kebencian, segara diluruskan, jika tidak bisa meluruskan, biarkan itu hanya sampai kepada kita, tidak pada orang lain.            

Hanya dengan cara ini, artinya menebar kedamaian, kesejukan, dan keteduhan yang membuat kita merasa optimis dan semangat dalam mengahadapi pandemi secara khusus, dan mengisi dan manata masa depan bangsa ini secara umum.

This post was last modified on 23 Desember 2020 1:12 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

23 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

23 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

23 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

23 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago