Narasi

Radikalisasi Di Dua Dunia

Setiap tahun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dibantu Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi, melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan bahan kebijakan dan strategi khususnya di bidang Pencegahan. Riset tahun 2020 bertemakan “Penguatan Kebhinnekaan dan Literasi Digital dalam Menangkal Radikalisme”. Survei tahun ini yang melibatkan 13.700 responden, ingin mengukur potensi radikalisme di masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan menemukan daya tangkal yang efektif melawan terpaan paham radikal terorisme di masyarakat.

Penelitian tahun 2020 merupakan kelanjutan dari temuan penelitian sebelumnya. Pada tahun 2019, ditemukan bahwa dimensi pendididikan kebhinnekaan pada anak memiliki skor paling rendah (53.11), karenanya salah satu tujuan penelitian tahun ini mendalami potret pemahaman dan sikap masyarakat terhadap kebhinnekaan. Di saat yang sama, berdasarkan data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia mencapai 64.8%. Diprediksi, penggunaan internet makin tinggi di kalangan yang makin muda. Generasi yang lebih muda dikenal dengan istilah generasi milenial atau yang lebih muda lagi disebut Gen Z.

Gen Z adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 2001 sampai dengan tahun 2010. Generasi milenial lahir dari tahun 1981 sampai dengan tahun 2000. Gen X lahir dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1980, dan generasi yang lahir sebelumnya, lahir tahun 1946 sampai dengan tahun 1964, disebut boomers.

Mayoritas responden penelitian BNPT/FKPT mengakses internet (75.5%). Gen Z yang mengakses internet (93%), milenial (85%), gen X (54%), dapat dikatakan semakin muda, semakin aktif di internet. Mayoritas responden sudah pada kategori medium user (aktif mengakses internet perhari 1-3 jam).

Netizen, warga dunia maya yang mengakses internet, kebanyakan mengaku pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%), dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas mencari konten keagamaan via YouTube (77%), dengan durasi pendek (kurang dari 30 menit). Besar kemungkinan konten yang dilihat kurang utuh. Patut dicermati, pemuka agama yang “tegas” menempati urutan ketiga (34.6%), dari pertimbangan mereka dalam memilih penceramah, setelah dianggap memiliki kedalaman ilmu (65.9%), dan humoris (57.8%).

Radikalisasi kepada mereka yang lebih muda menggunakan internet tercermin dari temuan penelitian tahun 2020. Survei membuktikan indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12.7%, pada milenial mencapai 12.4%, dan pada generasi X mencapai 11.7%. Artinya indeks potensi radikalisme lebih tinggi pada generasi yang lebih muda (gen Z dan milenial) dibanding generasi sebelumnya.

Netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi dibanding dengan netizen yang kurang aktif mencari konten keagamaan di internet. Indeks potensi radikalisme pada mereka yang aktif mencari konten keagamaan di internet mencapai 12.6%, sedangkan indeks potensi radikalisme pada mereka yang kurang aktif mencari konten keagamaan di internet mencapai 10.8%. Indeks potensi radikalisme pada netizen yang menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan. Indeks potensi radikalisme pada netizen yang menyebar konten keagamaan mencapai 13.3%, sedangkan netizen yang tidak menyebar konten keagamaan memiliki indeks potensi radikalisme sebesar 11.2%.

Sayangnya literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Literasi digital yang diukur dari prilaku AISAS (Attention, Interest, Search, Action, Share), belum sepenuhnya dipraktikkan oleh mayoritas responden. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variable yang tidak signifikan. Prilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebhinnekaan. Prilaku AISAS yang belum menjadi daya tangkal yang efektif dalam mereduksi radikalisme, disebabkan proporsi netizen yang berpilaku AISAS masih rendah (5.8%).

Hasil penelitian BNPT/FKPT ini mengkonfirmasi fenomena transformasi pola penyebaran radikalisme. Sebelumnya di dunia nyata melalui berbagai saluran seperti komunikasi langsung (dakwah, diskusi, pertemanan), media cetak (buku, majalah, bulletin), lembaga pendidikan (sekolah, pesantren, perguruan tinggi), dan hubungan kekeluargaan dalam bentuk pernikahan atau hubungan kekerabatan lain. Sekarang radikalisme telah nyata merambah ke dunia maya, menyasar anak muda. Pertanyaannya kemudian, what has to be done?

This post was last modified on 22 Desember 2020 4:55 PM

Teuku Fauzansyah Banta

Kepala Seksi Penelitian dan Evaluasi BNPT

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

23 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

24 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

24 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

24 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago