Narasi

Mendeteksi Dini Gerakan Radikalisasi via Medsos di Tengah Pandemi

Terorisme dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis, baik dalam jaringan internasional maupun nasional, membuat beberapa kalangan resah dan gelisah. Dari sini pula, mereka pun berupaya menciptakan wacana tandingan sebagai upaya menarik kembali pemahaman Islam ke titik tengah (M. Ainun Najib dan A. Khoirul Huda, 2020).

Wacana moderatisme Islam pun mendapat dukungan dari berbagai pihak. MUI dengan jargon wacana Islam Wasthiyah. Bersamaan dengan itu, ormas arus utama juga turut menyuarakan gerakan senada. NU melahirkan Islam Nusantara dan Muhammadiyah menyuarakan Islam Berkemajuan.

Langkah-langkah strategis di atas ditempuh karena tidak lain dan tiada bukan untuk mendeteksi dini paham-paham yang bertentangan dengan Islam dan ideologi Pancasila. Sehingga, masa depan Islam di Indonesia akan cerah, bahkan bisa menjadi corong dunia Islam secara keseluruhan. Terlebih di era pandemi Covid-19 yang belum diketahui secara pasti kapan berakhirnya.

Dinamika Gerakan Islam Kekinian

Wacana Islam di Indonesia mengalami dinamika yang luar biasa, lebih-lebih pasca tumbangnya Orde Baru dan tumbuhnya era reformasi. Setidaknya ada beberapa kelompok gerakan; konservatif-fundamentalis, literalis, radikalis dan liberalis.

Banyak kalangan menilai bahwa corak Islam fundamentalis akan mengarahkan pada ekstrimisme, tentu bila dipahami secara parsial. Hal ini salah satunya sebagaimana diungkapkan oleh Iqbal Ahnaf dalam “The Images of Enemy Fundamentalist Muslims Perception of The Other” (2003). Kelompok fundamentalis ini seringkali getol mengutip ayat-ayat konfrontatif untuk melegitimasi tindakannya dan mengabaikan ayat-ayat koopertaif terhadap agama lain.

Tak ayal jika kelompok radikal-konservatif ini sering mendengungkan kata-kata keras seperti jihad, kafir, dan nahi munkar. Selain itu, kelompok ini juga tidak mengakui adanya kesetiaan terhadap negara yang bukan besistem Islam. Dengan berbablut nuansa keagamaan yang penuh emosional, ekstrimisme keagamaan di Indonesia menemukan momentumnya.

Lebih jauh lagi, Khaled Abou El Fadl mengkategorisasikan Islam menjadi dua belah pihak yang saling bertentangan, yakni antara ekstrimsme dan moderatisme. (Lihat Khaled Abou El Fadl, 2005: 21). Dengan demikian, tantangan dunia Islam hari ini adalah membersihkan dari pembajakan agama yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis agar tidak semakin merebak dan merusak banyak tatanan yang mapan dan damai.

Pada tahap selanjutnya, wacana Islam moderat memang tidak mulus. Masih adan beberapa kendala dan lain sebagainya, seperti tuduhan bahwa wacana Islam Nusantara yang diusung oleh NU misalnya, diduga kuat memiliki orientasi politik yang kuat ketimbang keagamaan. Konsep ini sengaja dimunculkan ke permukaan sebagai respon atas kesuksesan kelompok-kelompok Islam transnasional.

Jadi ada persaingan memperebutkan pengaruh atas publik terhadap Islam di Indonesia. Kajian semacam ini diantaranya diungkapkan oleh Ahmad Khoirul Fata dan Moh. Nor Ichwan dalam “Pertarungan Kuasa dalam Wacana Islam Nusantara” (2017).

Antara Tantangan dan Peluang

Uraian di atas mengantarkan kepada kita semua akan dinamika gerakan kelompok Islam. Kemunculan dan tumbuh kembang gerakan ekstrimisme menjadi tantangan bagi kelompok moderat. Dalam kondisi inilah, dakwah nusantara perlu disuarakan, bahkan harus dijadikan sebagai model dakwah di Indonesia guna membersihkan pengaruh ekstrimisme yang kian meraja-lela.

Dakwah nusantara bisa dimaknai sebagai model atau cara dakwah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran agama dan aspek lokalitas. Artinya, dakwah yang tidak menentang budaya, juga mencederai pilar-pilar bangsa sehingga dakwah model ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi agama dan negara.

Menguatkan moderasi Islam dan wawasan kebangsaan menjadi dua hal yang harus dikupas dalam paradigma dakwah nusantara ini. Sebab, kelompok radikal selalu mencemari pemahaman keagamaan umat dengan mengatakan bahwa loyalitas itu hanya kepada agama, sementara negara tidak. Narasi seperti ini sangat marak di media sosial (medsos).

Nasionalisme dipandang sebagai paham yang bertentangan dengan agama. Inilah tantangan yang nyata dakwah nusantara; bagaimana meng-counter narasi di atas dengan argumentasi-argumentasi kuat dan disampaikan dengan bijak dan elegan.

Peluang wacana moderasi agama sebenarnya sangat bagus. Hal ini dibuktikan dengan ormas Islam besar di Indonesia turut aktiv dalam mengkampanyekannya. Dukungan ormas yang memiliki simpatisan jutaan itu diharapkan dapat menarik kelompok lain agar juga turut serta membumikan moderasi agama.

Mendeteksi Dini

Moderasi agama sebagai respons maraknya radikalisme dan ekstrimisme serta liberalisme, tidak akan berdampak signifikan jika tidak diimbangi dengan para penutur agama (da’i). Dengan demikian, ranah dakwah menjadi hal yang perlu digarap dengan serius. Terutama di era sekarang, dimana ulama atau tokoh agama justru gemar menebar provokasi di tengah umat melalui mimbar-mimbar agama.

Dakwah nusantara hadir dengan paradigma yang lebih luwes, damai dan sejuk namun tidak menghilangkan ketegasan. Dakwah yang mengasihi bukan memprovokasi menjadi hal yang harus digelorakan. Dakwah nusantara juga lebih komprehensif di media sosial agar bisa mendeteksi dini radikalisasi.

Sebagai contoh ketika memaknai tauhid. Konsepsi tauhid tidak semata-mata kepercayaan terhadap Tuhan yang Esa, melainkan juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan aspek kehidupan lainnya. Sehingga, konsepsi Tauhid semacam ini akan melahirkan pandangan hidup yang berlandaskan pada kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan tujuan hidup (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of porpose of life). Lihat M. Amin Rais, cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 18.

Selain itu, dakwah nusantara juga harus memperhatikan beberapa prinsip seperti tawassut (mengambil jalan tengah), tawazun (keseimbangan), i’tidal (tegak, lurus dan bersifat proprsional) dan tasamuh (toleransi). Prinsip-prinsip ini akan menjadikan dakwah nusantara lebih hidup dan menghidupkan perbadaban dunia yang lebih baik dan tentram.

Ormas moderat harus meluangkan waktu untuk menggerakkan umat agar bisa gotong-royong dalam mendeteksi sejak dini gerakan radikalisasi di media sosial yang menyasar generasi millenial. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia bebas dari paham radikal. Bersamaan dengan berakhirnya pandemi Covid-19 ini.

This post was last modified on 4 Agustus 2021 12:21 PM

Fauziyah S

Aktif bergerak di bidang sosial dan isu-isu perempuan serta perdamaian, tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago