Narasi

Mendidik Anak Menjadi Pelopor Duta Damai

Tawuran antarpelajar kembali terjadi di Kampung Makasar, Jakarta Timur. Satu orang pelajar tewas dalam tawuran tersebut. Menurut Reskrim Polres Metro Jakarta Timur, AKBP Ida Ketut saat dikonfirmasi, Selasa (14/8/2018), tawuran antarpelajar itu terjadi di Jembatan Jalan Mayjen Sutoyo tepatnya di sekitaran Kantor TransJakarta, Senin (13/8) sekitar pukul 19.00 WIB. Pelajar yang tewas tersebut bernama Fahturosi Del Piero. Tawuran itu melibatkan dua sekolah yakni SMK Rahayu Mulyo dan SMK Respati. Ida Ketut menambahkan selain korban tewas, terdapat empat pelajar lain mengalami luka-luka. (Detik.com/4/9/2018)

Berbagai kekerasan yang muncul belakangan ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia telah gagal. Sebagai pranata sosial, lembaga pendidikan diharapkan mampu membangun karakter tunas-tunas bangsa. Lembaga pendidikan di Indonesia seolah-seolah tidak mampu menegakkan nilai-nilai toleransi,  demokrasi, dan menyiapkan generasi yang kritis dengan basis pengetahuan dan kompetensi.

Barangkali ini menjadi potret kegagalan pendidikan karakter dalam mengajarkan tentang watak yang baik, terutama dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan maraknya tindakan kekerasan di kalangan anak usia muda bisa berpengaruh pada perilaku mereka ketika sudah menginjak usia dewasa, sehingga boleh jadi pendidikan agama sangat menentukan terhadap pembinaan karakter yang halus dalam menyikapi suatu kondisi yang dianggap mengalami kekacauan (chaos).

Dari sinilah dibutuhkan strategi yang efektif untuk meredam aksi kekerasan yang sering melibatkan kalangan anak didik di berbagai lembaga pendidikan. Salah satunya adalah dengan memberikan pengajaran tentang pentingnya cinta damai sejak usia dini.

Pendidikan Damai

Konsep pendidikan damai (peace education) merupakan konsep ideal yang perlu ditanamkan sejak dini, karena berkaitan langsung dengan kondisi psikologis anak dalam memahami makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Penanaman pendidikan cinta damai tidak bisa secara langsung diberikan tanpa tahapan penting yang menyangkut pemahaman tentang nilai-nilai perdamaian yang bisa dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai perdamaian dalam lingkungan sekolah juga perlu ditanamkan agar anak tidak terbiasa dengan aksi tawuran dan agresifitas untuk melakukan tindakan kekerasan.

Mengenai konsep damai, Abd. Rahman Assegaf memperkenalkan dua jenis sifat, yakni negatif dan positif. Kondisi damai yang negatif muncul sebagai akibat dari ketiadaan kekerasan individu dan kekerasan institusional sebagaimana digambarkan dalam spiral kekerasan. Sementara kondisi damai yang positif adalah terwujudnya kehidupan makmur, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan terjaminnya hak asasi manusia. Kedua jenis sifat tersebut berhubungan antara kekerasan dan perdamaian.

Pendidikan hendaknya mendorong sikap saling pengertian, toleransi, persahabatan antar bangsa tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan meningkatan kegiatan untuk memelihara perdamaian. Sementara orangtua juga mempunyai hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. Dalam urusan persekolahan dan kelembagaan pendidikan, penanaman konsep pendidikan damai dimaksudkan sebagai “zona damai” di mana anak-anak merasa aman dari konflik kekerasan, melaksanakan hak dasar anak, mengembangkan iklim belajar yang damai dan perilaku saling menghargai, dan menyediakan forum diskusi dan sosialisasi tentang nilai damai serta keadilan sosial.

Untuk mencapai hasil yang demikian, sebisa mungkin anak didik mendapatkan sosialisasi pendidikan cinta damai untuk meredam gejolak dalam pikiran dan tindakan dengan penyelesaian yang kreatif. Pendidikan kreatifitas perlu dikembangkan agar anak memiliki rasa toleransi, saling menghargai, rasa empati terhadap sesama, dan menumbuhkan rasa percaya diri. Keberhasilan pendidikan damai tidak ditunjukkan dengan angka-angka, melainkan mengacu pada kualitas kompetensi untuk merespon kesulitan hidup yang dihadapi bersama.

Dalam diskursus peace education, kondisi damai dipahami tidak sekadar sebagai tiadanya bentuk-bentuk kekerasan langsung, melainkan juga terwujudnya kondisi damai yang positif. Pendidikan damai dengan demikian mencakup seluruh aspek dalam perdamaian. Pendidikan damai diarahkan untuk menumbuhkan tiga aspek utama, yaitu pengetahuan sebagai cognitive domain, keterampilan sebagai psychomotoric domain, dan sikap sebagai affective domain. Lalu bagaimana kita menjabarkan tentang materi dan metode dalam pendidikan damai?

Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk memberikan materi tentang pendidikan damai. Pertama, pendidikan damai memuat materi pengetahuan yang meliputi mawas diri, pengakuan akan prasangka, damai tanpa kekerasan, lingkungan dan ekologi. Kedua, muatan materi dalam pendidikan damai meliputi komunikasi kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, kerjasama, empati, apresiasi nilai artistik dan estetika, sikap sabar dan pengendalian diri. Ketiga, muatan materi nilai atau sikap dalam pendidikan damai meliputi kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap toleransi, saling memahami antra budaya, tanggung jawab sosial, solidaritas, dan resolusi berwawasan global.

Pendidikan agama yang diterapkan di sekolah harus berlandaskan pada pendidikan perdamaian sebagai tolak ukur untuk mengevaluasi kualitas emosional anak didik agar tidak mudah terjebak pada sikap eksklusif dan anarkis. Pendidikan cinta damai (peace education) bukanlah sebuah konsep yang kaku dan cenderung eksklusif, melainkan sebuah konsep bbyang menekankan pada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di sekolah, anak-anak memang telah diajarkan tentang pendidikan agama menyangkut materi akhlak, fikih, maupun tasawuf, namun mereka belum mampu menginternalisasi materi-materi itu dalam kehidupan nyata sehingga sikap destruktif dan agresif cenderung sering terjadi.

Maka, dalam rangka mengoptimalkan peran pendidikan agama di sekolah, semua komponen yang terkait perlu menawarkan terobosan baru yang lebih mencerdaskan bagi masa depan anak didik. Kurikulum pendidikan yang diterapkan harus-benar menyentuh jiwa dan batin anak didik agar memiliki empati terhadap orang lain. Penguasan materi pelajaran tidak bisa menjamin seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dalam mengendalikan sikap agresivitas yang cenderung mendorong untuk melakukan kekerasan.

This post was last modified on 6 September 2018 4:46 PM

M Arif Rohman Hakim

Recent Posts

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

1 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

1 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

1 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

1 hari ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

1 hari ago

Cak Nur, Keislaman, dan Keindonesiaan

Nurcholish Madjid (Cak Nur) adalah seorang intelektual muslim yang memiliki pengaruh besar dalam pemikiran Islam…

1 hari ago