Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berulang tahun ke-13 pada tanggal 16 Juli lalu. Memasuki usianya yang ke-13, keberadaan BNPT sebagai leading sector penaggulangan terorisme ini sempat mendapat gugatan oleh sebagian kalangan.
Muncul suara sumir yang menyebut bahwa BNPT hanya menghamburkan anggaran negara karena minimnya peran dan fungsi yang bisa dimainkan. Bahkan, ada suara-saura yang menuntut lembaga ini dibubarkan saja. Suara ini semakin kencang bergaung manakala muncul data yang menyebutkan bahwa angka terosisme di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan dalam beberapa tahun belakangan.
Ada dua kemungkinan yang melatari mengapa suara sumir itu muncul. Pertama, suara itu muncul dari kelompok simpatisan gerakan radikal-terorisme. Kedua, suara itu datang dari orang yang tidak paham bagaimana perubahan pola strategi bermain radikal dan bagaimana tantangan terorisme Indonesia ke depan.
Bagi kelompok pertama, tentu segala penjelasan akan dibantah karena pada dasarnya mereka memang bagian dari gerakan radikal itu sendiri. Sedangkan bagi kelompok kedua, kita perlu lebih aktif menjelaskan ihwal peta gerakan radikal teroris di Indonesia dan bagaimana tantangannya ke depan.
Data yang menunjukkan adanya penurunan angka terorisme di Indonesia dalam beberpaa tahun terakhir itu memang valid dan benar adanya. Di titik ini kita patut mengapresiasi kinerja aparat keamanan yang sigap memutus rantai gerakan terorisme. Namun, kita tidak boleh memeluk dada terlalu awal dan menganggap bahwa terorisme telah musnah di negeri ini.
Terorisme adalah ideologi kekerasan yang akan terus hidup manakala akar masalahnya belum dicerabut. Sementara kita tahu, akar terorisme adalah pandangan keagamaan yang cenderung eksklusif, kaku, dan intoleran. Harus kita akui bahwa nalar keberagaman ekslusif dan intoleran itu nyatanya masih ada di tengah umat dan masyarakat saat ini.
Data dari sejumlah survei menunjukkan bahwa di tengah tren penurunan angka terosisme justru terjadi peningkatan angka penyebaran paham intoleran dan radikal. Ironisnya lagi, sasaran utama penyebaran paham intoleran-radikal itu adalah kelompok milenial akhir dan generasi Z.
Kenyataan ini sungguh memperihatinkan. Terlebih mengingat bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami fenomena bonus demografi, dimana jumlah masyarakat usia produktif jauh lebih banyak ketimbang penduduk usia lansia dan anak-anak. Bonus demografi ini memiliki dua kemungkinan sekaligus yakni positif dan negatif terhadap kemajuan sebuah bangsa.
Jika bonus demografi itu diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka dampaknya akan positif terhadap kemajuan bangsa. Sebaliknya, bonus demografi justru akan menjadi bumerang bagi bangsa jika kita gagal membangun SDM yang berkualitas.
Di tengah situasi Kebangsaan inilah, peran BNPT tetap masih relevan dan urgen. Utamanya untuk mewujudkan generasi yang berkualitas, yakni generasi yang memiliki wawasan kebangsaan yang kuat dan steril dari virus intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
Maka, peran BNPT di usianya yang ke-13 ini adalah fokus pada upaya membangun generasi yang memiliki karakter moderat dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Di titik ini, BNPT memiliki peran dalam mensukseskan agenda deradikalisasi serta kontra-narasi ekstremisme.
Agenda pemberantasan terorisme di level hilir barangkali bisa dikatakan berhasil dengan menurunnya angka terorisme. Ini saatnya kita fokus pada upaya pencegahan terorisme di level hulu. Yakni dengan membangun generasi yang berkomitmen pada komitmen kebangsaan (NKRI, Pcnasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika).
BNPT tentu tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan sinergi lintas sektor dan lintas golongan untuk mewujudkan agenda Indonesia emas 2045. Maka, diperlukan komitmen seluruh elemen bangsa mulai dari ormas keagamaan, para tokoh agama dan publik, serta masyarakat sipil pada umuknya untuk mewujudkan generasi berkualitas yang akan menjadi modal mewujudkan Indonesia emas 2045.
Ke depan, BNPT masih sangat dibutuhkan dalam hal edukasi publik, khusunya di kalangan milenial akhir dan generasi Z ihwal bagaimana mereduksi potensi infiltrasi paham radikal-terorisme. BNPT masih dibutuhkan sebagai sebuah lembaga supervisi yang memastikan agenda pemberantasan intoleransi dan rasikalisme tetap berjalan.
Agenda Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud manakala bangsa ini masih disibukkan oleh problem terkait permusuhan dan perpecahan yang dilatari isu keagamaan. Demikian pula, bonus demografi tidak akan kita petik momentumnya jika generasi mudanya justru terjebak dalam nalar beragama yang intoleran dan radikal.
Arkian, dirgahayu BNPT yang ke-13. Dukungan dan kepercayaan publik terhadap lembaga ini adalah kekuatan penting untuk meneguhkan peran lembaga ini dalam mewujudkan Indonesia emas 2045 terutama di tengah tantangan derasnya infiltrasi radikalisme di kalangan remaja dan kaum muda.
This post was last modified on 24 Juli 2023 10:51 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…