Narasi

Menerima Perbedaan, Membawa Perdamaian

Seorang fisikawan terkemuka Albert Einstein pernah  mengingatkan bahwa perdamaian tidak bisa dijaga dengan kekuatan, akan tetapi hanya bisa dijaga dengan pengertian. Pun,  Malcom X seorang aktivis berkebangsaan Amerika meyakini bahwa kita tidak akan bisa memisahkan perdamaian dengan kebebasan, karena tidak ada yang bisa tenang kecuali dia memiliki kebebasannya. Pemahaman atas perdamaian menjadi penting untuk dikontekstualkan dalam diskursus kenegaraan kita saat ini. Sebagaimana dikatakan oleh Einstein bahwa perdamaian tidak lahir dari kekerasan (radikalisme) akan tetapi lahir dari pengertian. Disamping itu, narasi pengertian ini hanya akan bisa hadir jika kita memiliki kebebasan untuk berpikir dan bersikap. Dan sepertinya, konteks pemahaman inilah yang dewasa ini mulai tergerus dalam budaya komunikasi kita.

Menjadi suatu keniscayaan bahwa bangsa Indonesia dilahirkan sebagai bangsa berperadaban tinggi. Landskap kebudayaan inilah yang secara fitrah membawa konsekuensi pluralitas, dimana masing-masing pihak harus saling menghormati dan menerima dengan legawa. Pekerjaan rumah (PR) yang saat ini perlu mendapat perhatian serius adalah bagaimana kemudian merawat setiap perbedaan, sehingga kita tidak mudah terpancing oleh provokasi amatiran yang hanya menyulut perdebatan serta konflik horisontal. Terlebih lagi bangsa ini sedang dianugerahi oleh bonus demografi dimana level piramida terbesar di isi oleh generasi muda. Tentunya sangat disayangkan jika generasi muda justru menjadi kelompok sosial yang paling rentan terpancing oleh provokasi.

Pesan Perdamaian

Narasi ke-Indonesia-an yang berdiri diatas pilar kebhinekaan akan terus terjaga jika semua pihak mampu hidup secara berdampingan, dan sudah tentu, perilaku tersebut membutuhkan sikap saling pengertian. Generasi muda memiliki tanggung jawab yang tidak ringan untuk menjadi bagian dari entitas sosial dalam merajut ikatan sosial (social bonding). Ikatan inilah yang secara kultural akan mewujudkan perdamaian. Pun, jika terjadi konflik maka dapat dipahami sebagai sesuatu yang fitrah yang tidak perlu dibesar-besarkan. Adapun persoalan yang acapkali muncul dalam ruang publik kita adalah adanya sikap merasa paling benar. Egosentris dan primordialisme sempit tersebut hanya akan memunculkan kritik sekaligus perlawanan horisontal, sehingga alih-alih  mengkonstruksikan perdamaian, yang terjadi justru sebaliknya yakni disintegritas.

Publik harus cerdas dalam menyikapi semua persoalan, utamanya problematika sentimen SARA yang sangat sering muncul di ruang-ruang publik, termasuk salah satunya di dunia maya. Penyikapan yang tidak cerdas hanya akan membawa petaka sosial, bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang lain. Disinilah kedewasaan kita sebagai manusia di uji, pun kedewasaan kita sebagai makhluk sosial, sehingga pesan perdamaian secara alamiah menjadi bagian dari tugas kita sebagai manusia.

Kedewasaan sosial publik menjadi kunci bagi perdamaian, pun secara kultural bangsa ini memiliki modal sosial (social capital) yang begitu luar biasa dimana terkandung nilai kepercayaan (trust) dan resiprositas (hubungan yang saling menguntungkan). Jika nilai kultural ini mampu dipegang teguh, utamanya para generasi muda niscaya akan membawa kebaikan bagi masa depan bangsa. Bangsa ini memiliki lebih dari cukup atas nilai-nilai yang nantinya akan membawa bangsa ini menjadi negara beradab dan penuh dengan pesan perdamaian. Pancasila adalah nilai dan konsensus final dari para pendiri bangsa ini, maka tidak ada asalan bagi kita untuk tidak mampu menjaga perdamaian bangsa ini.

Epilog

Pancasila, multikulturalisme, dan generasi muda adalah anugerah bagi bangsa ini yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa di dunia. Banyak para cendikiawan dan intelektual dunia mengatakan Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai universal yang diyakini mampu membawa perdamaian dunia. Seturut dengan hal tersebut, keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah keajaiban yang dititipkan Tuhan, jika dirawat dengan baik akan membawa keuntungan sosial politik bagi bangsa ini. Disamping itu, keberadaan generasi muda yang produktif adalah aset yang paling berharga bagi setiap negara dan Indonesia memiliki potensi SDM tersebut. Jika para pemuda tersebut mampu memahami nilai-nilai Pancasila sekaligus menjadi pribadi yang menjunjung tinggi pluralisme niscaya akan membawa pesan pesan perdamaian kemanapun dirinya pergi.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

2 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

2 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago