Narasi

Mengafirkan (Kok) Kepada Orang Islam

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.” (HR Bukhari).

Sabda Rasulullah Saw tersebut sejatinya bukan sekadar informasi, namun larangan agar umat Islam akhir zaman bersatu padu, tidak pernah menyakiti hati sesama muslim. Dapat dibayangkan, betapa terasa sakitnya orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat beserta menjalankan seluruh ajaran agama Islam lengkap dengan keimanan hanya karena satu atau dua hal yang berbeda pandangan dengan saudaranya lantas distempel kafir.

Bagi seorang muslim, “kafir” merupakan identitas yang paling dihindari. Karena, kekafiran adalah nasib buruk yang tidak pernah akan ada unggulannya. Karena, betapapun seseorang mengerjakan amal baik, baik yang bersifat ilahiah maupun sosial, tidak akan mendapat balasan baik dari Allah Swt karena kekafirannya. Dalam sebuah hadits, Aisyah Ra pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Ibnu Juz’an dahulu di masa jahiliyyah selalu menjaga hubungan silaturrahmi dan memberi makan fakir miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?” Rasulullah menjawab, “Tidak akan berguna baginya. Karena ia tidak pernah mengucapkan, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti.” (HR. Muslim).

Selain itu, Allah Swt. juga berfirman di dalam surat al-Furqan sebagaimana berikut:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqaan [25]: 23).

Bermula dari sini, sungguh memrihatinkan ketika akhir zaman ini terdapat golongan yang dapat dengan mudah mengafirkan kepada saudara muslimnya. Padahal, ketika terjadi pengafiran kepada orang muslim, berarti orang yang mengafirkanlah yang sejatinya kafir. Lebih-lebih, pengafiran tersebut diikuti dengan praktik-praktik kebencian, mulai dari perkataan menyakitkan hati hingga tindak radikal.

Kelompok (yang mengaku muslim) dengan cara mengafirkan kelompok muslim lain bisa saja dari kelompok yang juga mengucapkan dua kalimat sahadat beserta menjalankan ajaran agama Islam. Bahkan, bisa saja dari mereka adalah orang-orang yang menghafal al-Qur’an. Kendati demikian, keislaman mereka tidak sampai ke dalam hati. Praktik-praktik yang dikerjakan dalam ranah sosial kemasyarakatan tidak mencerminkan sebagai seorang Islam.

Perbuatan-perbuatan mereka justru merusak citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Agama Islam hadir dalam rangka memberikan keselamatan kepada manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan adanya agama Islam, diharapkan seluruh menusia bisa merasakan hidup yang nyaman-tenteram. Lebih-lebih bagi pemeluknya, Islam akan selalu memberikan ketenangan. Sehingga, ketika terdapat orang Islam yang mengusik ketenangan hati orang Islam lainnya, maka keislaman si pengusik perlu dipertanyakan. Ketika terdapat orang Islam yang mengganggu ketenagan hidup bermasyarakat dengan cara memberikan ancaman (baca: teror), menyulut bom di ruang public, dan lain sebagainya, maka keislaman orang ini perlu dipertanyakan.

Kita perlu mengingat bahwa dalam setiap perbuatan, apalagi menggerakkan masa, dipastikan ada kepentingan yang melatarbelakangi. Dalam praktik pengafiran dan tindak radikal yang dilakukan oleh golongan (yang mengaku) muslim lain, dipastikan ada kepentingan di belakangnya. Kepentingan tersebut bisa saja berbentuk ekonomi, kekuasaan, atau yang lainnya. Dengan motif-motif kedunuawiahan seperti ini, bukan tidak mungkin mereka akan “menggadaikan” agama Islam.

Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah bahwa dalam menjalankan aksi, terdapat kelompok sadar dan tidak sadar. Kelompok sadar adalah kelompok inti yang memiliki gagasan dan motif tertentu (semisal ekonomi dan kekuasaan). Mereka adalah penggerak masa dengan cara memprofokasi masyarakat (baca: umat).

Sementara itu, kelompok tidak sadar adalah kelompok yang tidak memiliki motif tertentu. Mereka sejatinya adalah korban, namun tidak mengetahui bahwa dirinya adalah orang yang diperdaya. Mereka adalah kelompok yang terkena jerat provokasi dan tidak sadar akan motif terselubung dari kelompok sadar. Kelompok tidak sadar ini biasanya adalah kelompok yang dijadikan sebagai korban atas tindak beresiko yang dilakukan kelompok sadar.

Berangkat dari sinilah, umat muslim harus sadar bahwa tidak semua tindakan yang mengatasnamakan kepentingan agama adalah benar. Bisa saja, hanya karena motif ekonomi atau kekuasaan segelintir orang, agama dijadikan garansi. Mereka tidak memerdulikan atas kehancuran perdamaian umat Islam gegara tindakan-tindakan yang dilakukan. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

6 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

6 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

6 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago