Narasi

Mengantisipasi Intoleransi sebagai Dampak Kebencian Digital

Dalam era digital yang serba cepat ini, informasi yang datang ke tangan kita bisa datang dari berbagai sumber tanpa batas. Sayangnya, tidak semua informasi tersebut dapat dikategorikan sebagai informasi yang mendidik atau membangun. Di tengah derasnya arus informasi tersebut, kita menghadapi kenyataan pahit tentang dampak buruk dari kebencian digital, yang jika dibiarkan, akan menanamkan benih kebencian dan intoleransi di kalangan generasi bangsa.

Dalam lima tahun terakhir, isu persekusi terhadap komunitas non-Muslim semakin marak, baik itu berupa perusakan makam, hingga pembubaran rumah ibadah. seperti insiden perusakan rumah singgah di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, yang terjadi pada 27 Juni 2025, menunjukkan betapa mudahnya kebencian digital merambah ke dunia nyata, merusak kedamaian sosial. Rumah yang sebelumnya digunakan untuk aktivitas peternakan, beralih fungsi menjadi tempat ibadah, memicu penolakan dari warga sekitar.

Ketegangan mulai muncul sejak April 2025, ketika warga mengetahui adanya kegiatan misa di tempat tersebut. Meski pihak pemilik rumah mencoba berkomunikasi dengan Ketua RT untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik, insiden perusakan tetap terjadi setelah upaya mediasi gagal. Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan massa merusak fasilitas di dalam bangunan, seperti kaca jendela dan properti lainnya.

Meski polisi menegaskan bahwa yang dirusak bukanlah tempat ibadah yang sah, namun insiden ini tetap mencerminkan bagaimana intoleransi dapat menyebar dengan cepat, didorong oleh ketegangan sosial yang semakin meluas. Ini menjadi bukti bahwa kebencian digital yang sering kali hadir dalam bentuk informasi yang tidak terverifikasi dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat dan menyebabkan tindak kekerasan terhadap perbedaan

Kejadian-kejadian ini tidak hanya menghancurkan masyarakat yang menjadi korban langsung, tetapi juga menyisakan dampak psikologis yang lebih luas, terutama terhadap generasi muda. Anak-anak, yang seharusnya berada dalam lingkungan yang mendukung pertumbuhan mereka secara positif, kini turut terpapar oleh kebencian melalui media sosial. Mereka tidak hanya melihat peristiwa tersebut, tetapi secara tidak langsung juga mempelajari bahwa perbedaan adalah sesuatu yang harus dihindari atau bahkan diperangi.

Anak-anak yang terpapar dengan konten kebencian ini bisa jadi mengembangkan pemahaman yang keliru mengenai perbedaan antar agama, suku, dan golongan. Media sosial sering kali menjadi tempat di mana anak-anak menemukan beragam jenis konten yang tidak terfilter, dari yang berisi pengetahuan hingga yang justru mengarah pada penyebaran kebencian. Kekerasan dan intoleransi yang mereka saksikan dapat menjadi bagian dari memori kolektif mereka, yang terbentuk dan terpatri seiring dengan pertumbuhan mereka. Tanpa adanya pembimbingan yang baik, pola pikir tersebut akan membentuk karakter mereka yang nantinya akan berbahaya bagi perdamaian bangsa.

Keluarga memegang peranan yang sangat penting sebagai benteng pertahanan pertama bagi anak-anak dari paparan kebencian digital. Keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai moral dan kehidupan sosial yang sehat dapat diajarkan. Ketika anak-anak menyaksikan peristiwa kekerasan atau kebencian di media sosial dan bertanya mengapa itu terjadi, orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan yang bijak. Daripada memberikan jawaban yang mendemonisasi kelompok tertentu, seperti “karena mereka orang jahat”, orang tua harus mampu memberi penjelasan yang lebih menekankan pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan.

Penjelasan yang penuh kasih sayang dan pemahaman ini akan membantu anak-anak untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai sesuatu yang bisa memperkaya kehidupan mereka. Pengarahan yang baik di rumah akan melawan pengaruh buruk yang datang dari dunia maya dan membentuk karakter anak yang lebih positif dan berpikiran terbuka.

Selain peran keluarga, moderasi beragama juga merupakan instrumen penting dalam melindungi anak-anak dari kebencian digital. Moderasi beragama bukan berarti menghilangkan keyakinan agama, tetapi lebih kepada cara pandang yang mengutamakan perdamaian, toleransi, dan sikap terbuka terhadap perbedaan. Pendidikan tentang moderasi beragama dapat membantu anak-anak untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dalam diri mereka, sehingga mereka tidak mudah terjerumus ke dalam kebencian yang dapat timbul dari perbedaan agama atau keyakinan.

Nilai-nilai Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, seharusnya menjadi panduan hidup bagi setiap individu dalam berinteraksi dengan sesama. Pancasila mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan perbedaan, menghargai kemanusiaan, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satu cara untuk menerjemahkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam konteks parenting, adalah dengan menanamkan nilai-nilai tersebut pada anak-anak melalui tindakan nyata.

Pancasila memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan karakter bangsa yang penuh dengan kasih sayang, kedamaian, dan kebersamaan. Sebagai contoh, dalam sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”, orang tua bisa mengajarkan anak untuk menghormati agama lain dan melihatnya sebagai bagian dari keragaman yang harus dihargai. Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, mengajarkan kita untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan bermartabat tanpa memandang latar belakang. Setiap sila dalam Pancasila bisa dijadikan bahan ajar bagi orang tua untuk membentuk karakter anak yang menghargai perbedaan dan hidup berdampingan secara damai.

Untuk memastikan masa depan bangsa yang damai, kita harus memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kedamaian dalam hati mereka. Menurut penelitian oleh Haryanto (2019) dalam jurnal Psikologi Sosial yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Toleransi terhadap Sikap Intoleransi pada Remaja”, mengajarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian sejak dini akan berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap remaja di masa depan. Oleh karena itu, pembelajaran tentang toleransi, moderasi beragama, dan pengelolaan emosi harus dimulai sejak usia dini agar anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki perspektif yang luas dan damai.

Untuk melindungi generasi muda dari kebencian digital, kita harus bekerja bersama dalam memberikan pendidikan yang mengutamakan toleransi, moderasi beragama, dan nilai-nilai Pancasila. Keluarga sebagai tempat pertama untuk menanamkan nilai-nilai tersebut memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Dengan mendidik anak-anak untuk menerima perbedaan dan menghargai kedamaian, kita bisa memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi generasi yang siap membangun Indonesia yang lebih baik, penuh cinta, dan tidak terkontaminasi oleh kebencian digital.

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

3 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago