Narasi

Mengembalikan Khitah Sekolah

“Lho, anak-anak enggak pada sekolah, Bu?” Tanya Doel.

Gitu lah, Bang. Biar saya suruh jualan aja, bantu-bantu bapaknya. Kalau si Neneng akan saya kawinkan saja,” jawab si Ibu.

“Bu, biar lagi susah, kalau bisa si Cecep jangan sampai putus sekolah, Bu,” saran Doel.

“Betul, biar sambil jualan dan harus tetap sekolah,” tambah Karyo.

“Bener juga, Mpok. Kalau enggak sekolah kayak saya bisa apes, apes, apes,” timpal Mandra.

“Kita semua tahu, keadaan memang susah, tapi jangan menyerah dan anak-anak harus tetap sekolah. Demi masa depan,” tutup Doel.

Dialog ini bukanlah adegan sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang tayang sejak 1994, tetapi sebuah iklan masyarakat yang disponsori UNICEF (United Nations Children’s Fund) dan ditayangkan pada era 1998 dengan tujuan mendorong agar anak-anak Indonesia tidak putus sekolah.

Saat ini masanya sudah berbeda, masyarakat punya pilihan yang lebih bebas terhadap akses pendidikan. Kualitas guru, nama besar, prestasi, kekhasan, dan kurikulum adalah beberapa hal yang menjadi pertimbangan memilih pendidikan formal bernama sekolah.

Sekolah, menurut kbbi berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Mari kita ulas:

  1.         Sekolah adalah bangunan atau lembaga, maka jika tanpa bangunan atau lembaga sebuah proses belajar mengajar tidak dapat disebut sekolah. Anda belajar menari dengan mastro tari Didik Nini Thowok selama 4 tahun sampai menjadi profesional, Anda tidak disebut sedang sekolah tari. Tapi jika Anda masuk program studi seni tari sebuah universitas selama 4 tahun, meskipun tak dapat menari, Anda diakui pernah sekolah tari.
  2.          Jika Anda seorang anak sastrawan dan sejak kecil dilatih bersastra dan akhirnya punya karya-karya sastra yang mumpuni, jika Anda tak punya ijasah sastra, “sekolah” Anda sejak kecil itu tidak diakui, meskipun Anda punya karya yang tak dimiliki lulusan sastra.
  3.          Meskipun Anda akhirnya menjadi seorang fotografer profesional setelah kursus di Darwis Triadi School of Photography, proses itu tidak dapat dikatakan sebagai sekolah meski ada bangunan, lembaga, dan proses belasjar mengajar.

Definisi sekolah zaman ini ternyata sangat jauh dengan khitahnya. Sesuai bahasa aslinya (Latin), skhole, scola, scolae atau schola secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang. Lalu bagaimana bisa waktu luang itu bisa menjadi waktu menegangkan seperti sekolah saat ini?

Baca juga : Pendidikan Karakter Dan Potensi Radikalisme Di Dunia Pendidikan

Pangkal perkaranya dapat kita lacak dari zaman dan tempat asal muasal kata tersebut, yaitu zaman Yunani Kuno. Zaman itu, laki-laki Yunani biasanya mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai untuk menanyakan sesuatu yang mereka anggap penting, kegiatan itu mereka sebut skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya memiliki arti yang sama, yaitu waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.

Lama kelamaan, kebiasaan “sekolah” atau mengisi waktu luang itu dirasa juga penting untuk perempuan. Dan karena desakan perkembangan kehidupan yang menyita waktu, ayah dan ibu merasa bahwa mereka juga tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal bagi anak-anaknya. Kemudian mereka mengirimkan anak-anaknya kepada seseorang yang dianggap pandai untuk berskhole, di tempat ini anak-anak belajar sesuatu yang dianggap penting untuk kehidupan mereka, hingga pada saat dewasa mereka kembali pulang untuk menajalankan kehidupan sebagai orang dewasa pada umumnya.

Hingga kemudian pada 1657 menjadi tonggak pendidikan modern dengan diterbitkannya kitab Didactica Magna oleh John Amos Comenius (1592–1670) yang dikenal sebagai Bapa Pendidikan Modern kerana berhasil melembagakan pola dan proses pengasuhan anak menjadi lebih sistematis dan metodis.

Di Indonesia sendiri dalam sejarahnya mencatat sekolah pertama kali dibangun pada 1536  di bawah kepemimpinan Gubernur Antonio Galvao di Ternate. Baru 386 tahun berikutnya atau pada tahun 1922 seorang pribumi Indonesia, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, membangun institusi pendidikan bernama Sekolah Taman Siswa.

Nampaknya Bapak Pendidikan Nasional yang kita kenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara ini tahu betul maksud sebuah sekolah, yaitu taman atau tempat bermain bagi para siswa. Ki Hadjar Dewantara seperti ingin mengembalikan sekolah sebagai sarana mengisi waktu luang dengan memberi nama sekolahnya dengan nama Taman Siswa.

Setelah 97 tahun fondasi pendidikan itu diletakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bagaimana rupa pendidikan kita hari ini? Beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan kasus pengeroyokan 12 siswa terhadap seorang Audrey, semua orang yang ngeri dan mengutuk aksi keji ini tiba-tiba tersentak karena hasil visum menunjukan tak ada bekas kekerasan itu.

Pada peringatan Hari Buruh 2019, sehari sebelum Hari Pendidikan Nasional, menurut berita yang dipublikasikan kompas.com ada 619 diamankan karena melakukan kerusuhan di Bandung, 293 diantaranya adalah anak di bawa umur. Salah seorang yang diamankan, A (17), mengaku mendapatkan informasi dari Instagram.

Hal ini senada dengan pemaparan Irfan Amalee, Co-founder and Director of Peace Generation Indonesia, dalam kegiatan Southeast Asia Cyber Peace Ambassadors 2019, bahwa anak-anak remaja terpapar aksi kekerasan dan paham radikalisme dari media sosial. Oleh sebab itu ia bersama Peace Generation Indonesia membuat game board yang memberikan edukasi tentang bahaya radikalisme.

Selain masuk dalam dunia remaja masa kini, Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian juga mengatakan bahwa energi anak-anak remaja sangatlah besar dan sering kali perbuatan kekerasan bahkan membawa bendera ISIS saat naik gunung adalah bentuk eksistensi yang mereka lakukan.

Jika memang ruang ekspresi yang dibutuhkan remaja, pemerinta tentu bisa menyediakan “panggung” untuk tempat mereka tampil, hal itu bisa perlombaan vlog, fotografi, skateboard, mural, BMX, dan macam-macam hal yang sedang tren di kalangan remaja. Sehingga anak-anak sekolah memiliki ruang ekspresi yang sehat.

Kemudian melalui ruang-ruang ekspresi itu, dipilih anak-anak yang berbakat dalam hal kepemimpinan, penelitian, sosial, kreativitas, dan sejenisnya untuk lebih diperdalam dalam pelatihan-pelatihan keterampilan karakter. Seperti khitah sekolah: mengisi waktu luang.

Sehingga akhirnya energi anak-anak remaja tak tersalurkan pada hal-hal yang gelap seperti radikalisme dan kekerasan remaja, tetapi mempunyai energi positif untuk membangun bangsa dan negaranya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

This post was last modified on 6 Mei 2019 12:30 PM

John Bara

Anggota Duta Damai Dunia Maya BNPT, Regional DIY

Recent Posts

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

9 jam ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

13 jam ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

13 jam ago

Game Online dan Soft Propaganda: Waspada Cara Baru Meradikalisasi Anak

Perubahan strategi terorisme di Indonesia dan secara global telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka…

3 hari ago

Densus 88 Tangkap 4 Pendukung ISIS Penyebar Propaganda Terorisme di Medsos; Bukti Terorisme Masih Nyata

Penangkapan empat pendukung ISIS di Sumatera Barat dan Sumatera Utara oleh Detasemen Khusus (Densus) 88…

3 hari ago

Strategi Perlindungan Ketika Game Online Menjadi Gerbang Radikalisme

Di tengah riuhnya perkembangan teknologi digital, terselip kenyataan pilu yang dialami oleh anak generasi muda…

3 hari ago