Narasi

Pendidikan Karakter Dan Potensi Radikalisme Di Dunia Pendidikan

Pendidikan formal di Indonesia ada sejak zaman penjajahan. Sejak dicetuskan Belanda pada awal abad ke-19 pendidikan formal lambat laun telah menggeser pendidikan pesantren yang notabene sistem pendidikan asli Indonesia. Dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, kurikulum pendidikan di Indonesia berubah sesuai dengan perkembagan zaman dan kebutuhan siswa.

Sayangnya, perubahan kurikulum saat ini hanya menjadikan siswa untuk berkontestasi dalam ranah nilai bukan bermoralitas. Instisuti pendidikan sebagai sarana untuk menciptakan manusia berbudi luhur tidak jarang namanya tercoreng karena berbagai kasus seperti pelecehan seksual, kekerasan terhadap murid, bahkan sempat viral murid yang melawan gurunya.

Ditambah dengan perkembangan teknologi yang sangat deras di era 4.0 telah menggoncang tata nilai pancasila sebagai ideologi bangsa dan moral generasi muda. Virus intoleransi bahkan radikalisme saat ini sudah masuk di tatanan institusi pendidikan. Survei Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, Oktober 2010 sampai Januari 2011: hampir 50% setuju tindakan radikali: 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan: 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam: 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Pada tahun 2016, Wahid Foundation melakukan survey aktivis Rohani Islam (Rohis). Para pengurus Rohis ini kebanyakan adalah siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Mereka berasal dari siswa unggulan ranking 1-10 mencapai 971 orang atau 60%, responden dari pengurus inti rohis 907 orang atau 55,78% dan sisanya tidak terafiliasi dengan organisasi keagamaan apapun 559 atau 34,8%. Hasil: 60% setuju berjihat saat ini: 68% setuju berjihad di masa mendatang. Dari jumlah tersebut, 37% sangat setuju dan 41% setuju umat islam bergabung dalam sistem.

Baca juga : Pendidikan Karakter Pesantren: Menangkal Radikalisme ala Santri Milenial

Melihat data yang tertera di atas, saat ini kurikulum pendidikan di Indonesia perlu memasukkan pendidikan karakter guna mencegah pandangan dan sikap intoleransi serta radikalisme yang dapat mengarah pada kekerasan dan terorisme. Sudah tidak saatnya lagi pendidikan hanya mempersoalkan tentang nilai, tetapi pendidikan harus menjadi instrumen untuk menjadika masyarakat yang bermoral, beradab dan bermanfaat bagi lingkungan, bangsa dan negara. Lalu pendidikan karakter seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia saat ini? Bagaimana mengarahkan pendidikan karakter dengan bahasa millenial? Serta bagaimana pendidikan karakter menjadi kekuatan menangkal pandangan sikap radikalisme?

Penanaman nilai spiritualitas dan nilai sosial sebagai pendidikan karakter perlu dimasifkan dan dikampanyekan di institusi pendidikan. Spiritualitas disini meliputi pendidikan agama yang moderat, norma-norma dan tradisi atau budaya kearifan lokal dalam masyarakat. Dengan mengenalkan tradisi budaya bangsa kepada millenial diharapkan dapat memupuk jiwa nasionalisme dan patrirotisme. Tujuan daripada spiritualitas adalah untuk memantabkan kembali nilai berbudi luhur sehingga peserta didik dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Nilai sosial guna menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan. Nilai sosial dilakukan dengan bentuk melakukan gerakan sosial, sehingga bagi peserta didik yang basicnya di bidang saintek misalnya tidak hanya terpaku pada pelajaran saja. Gerakan sosial dapat berupa santunan, kerja bhakti, gotong royong dan sikap kepedulian terhadap alam seperti konservasi alam dan  penanaman kembali. Dengan pendidikan gerakan sosial diharapkan peserta didik memiliki jiwa kemanusian yang tinggi, peka terhadap perubahan sosial serta dapat menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam bentuk kongkret pada masyarakat.

Ketika peserta didik sudah mendapatkan pendidikan karakter berupa nilai spiritualitas bisa membedakan sesuatu yang benar dan salah, serta gerakan sosial dengan mempraktekan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka hal tersebut diharapkan dapat menangkal idelogi radikal dan menghilangkan lemak-lemak intoleransi yang mulai berkembang di institusi pendidikan.

Moh Yajid Fauzi

Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Malang semester lima yang aktif di Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah sebagai ketua umum pada periode 2018/2019. Tergabung dalam Komunitas GUSDURian Malang dan Gubuk Tulis.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

5 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

5 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

5 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago