Narasi

Mengembalikan Khittah Ormas: Dari Perdamaian Historis Menuju Pembinaan Masyarakat Kontekstual

Sejarah Indonesia mencatat peran krusial organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam merajut tenun kebangsaan dan menciptakan harmoni sosial. Jauh sebelum Indonesia merdeka, berbagai perkumpulan berbasis keagamaan dan kedaerahan telah lahir, tidak hanya sebagai wadah aspirasi tetapi juga sebagai motor penggerak perdamaian dan kemajuan. Organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, misalnya, sejak awal berdirinya telah fokus pada pendidikan, pelayanan sosial, dan penguatan ekonomi umat. Aktivitas ini secara inheren adalah upaya membangun kedamaian, karena mengatasi akar masalah sosial seperti kebodohan dan kemiskinan.

Dalam perspektif Islam, upaya kolektif untuk mewujudkan kemaslahatan umum ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 2: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”. Semangat ta’awun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) inilah yang menjadi landasan spiritual ormas-ormas di masa lalu dalam berkontribusi positif bagi masyarakat majemuk. Mereka menjadi bukti bahwa organisasi berbasis nilai agama mampu menjadi agen perdamaian dan persatuan.

Namun, seiring berjalannya waktu, citra ormas di era modern kerap kali terdistorsi. Beberapa oknum atau kelompok yang mengatasnamakan ormas justru terlibat dalam tindakan-tindakan yang meresahkan masyarakat, seperti aksi intoleransi, kekerasan, atau pemaksaan kehendak. Gesekan dengan kelompok masyarakat lain atau bahkan dengan aparat penegak hukum menjadi pemandangan yang sayangnya cukup sering terjadi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai pergeseran orientasi dan pemahaman akan fungsi sejati ormas. Masalah ini seringkali muncul ketika semangat kebersamaan dan kontribusi sosial tergantikan oleh egoisme kelompok, interpretasi ajaran yang sempit, atau bahkan infiltrasi kepentingan politik praktis yang pragmatis. Akibatnya, sebagian masyarakat memandang ormas dengan skeptis, bahkan sinis, melupakan jejak sejarah positif yang pernah ditorehkan

Padahal, dalam pandangan Islam yang komprehensif, peran ormas atau komunitas (jama’ah) tidaklah terbatas pada urusan spiritual dan ritual semata. Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan (din syamil mutakamil), termasuk dimensi sosial, ekonomi, politik, dan peradaban. Keberadaan ormas Islam idealnya menjadi wadah untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka diharapkan menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang unggul (khairu ummah), memperjuangkan keadilan sosial, memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Aktivitas ini adalah bagian tak terpisahkan dari dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan nyata) yang bertujuan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Visi luas peran ormas ini sesungguhnya selaras dengan amanat Undang-Undang. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (sebagaimana telah diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang menjadi UU No. 16 Tahun 2017), disebutkan bahwa salah satu tujuan ormas adalah meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, serta mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan legal formal ini beririsan erat dengan pandangan Islam tentang kemaslahatan umum dan pembangunan peradaban. Artinya, baik secara normatif-religius maupun legal-formal, ormas memiliki mandat yang jelas untuk berkontribusi positif bagi bangsa dan negara

Oleh karena itu, revitalisasi peran ormas menjadi sangat penting. Fokus utama harus dikembalikan pada esensi keberadaannya, yakni sebagai agen pembinaan masyarakat (pembinaan ummat/masyarakat). Untuk mencapai tujuan ini secara efektif di tengah kompleksitas masyarakat modern, pendekatan dakwah yang kaku dan eksklusif perlu ditinggalkan. Sebaliknya, diperlukan dakwah kontekstual yang mengedepankan kearifan (hikmah), dialog, pemahaman terhadap realitas sosial budaya setempat, serta solusi konkret atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Ormas perlu hadir sebagai bagian dari solusi, bukan sumber masalah baru. Dengan kembali kepada khittah perjuangan yang mengedepankan kemaslahatan, persatuan, dan kontribusi nyata melalui pembinaan serta dakwah yang relevan, ormas dapat merebut kembali kepercayaan publik dan memainkan peran strategisnya dalam membangun Indonesia yang damai, adil, dan beradab.

Syukron

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

25 menit ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

26 menit ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

28 menit ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

38 menit ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

23 jam ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

23 jam ago