Penghargaan terhadap kearifan lokal merupakan salah satu pilar prinsipil dalam implementasi moderasi beragama di Indonesia. Tetapi, perdebatan antara Islam dan tradisi lokal rupanya masih menjadi sajian empuk bagi para tokoh agama konservatif. Seorang penceramah YouTube dalam salah satu kajiannya, misalnya, mempersoalkan strategi dakwah yang menggunakan kebudayaan sebagai medium.
Kutipannya secara verbatim kurang lebih begini:
“Harusnya Islam dijadikan tradisi dan budaya. Jangan kita balik, budaya di Islamkan. Susah. Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali, standar yang mana yang harus dipegangi?”
Pernyataan tersebut keluar dalam konteks menjawab pertanyaan salah satu jemaah yang bertanya seputar hukum wayang dan bagaimana cara tobat dari profesi seorang dalang. Dalam pernyataannya, tradisi yang dimaksud adalah wayang. Sebuah tradisi nenek moyang bangsa Indonesia yang telah mengakar, bahkan menjadi salah satu identitas kuat di bumi putra nusantara. Padahal, wayang merupakan salah satu instrumen imlementasi moderasi beragama di Nusantara, yaitu kearifan lokal yang patut dihargai.
Ada dua aspek utama yang sedang dibincang dalam kajian tersebut. Pertama, lebih baik meninggalkan tradisi-tradisi yang menyelisihi ajaran Islam, termasuk wayang. Kedua, metode penggunaan tradisi dan budaya sebagai medium dakwah merupakan cara yang salah karena Allah telah memberikan standar-standar khusus bagaimana seorang Muslim seharusnya berdakwah.
Dua aspek di atas mengindikasikan bahwa wayang tidak selaras dengan Islam sehingga perlu ditinggalkan. Jika dalang yang ingin bertobat masih mempuyai wayang, maka sebaiknya dimusnahkan karena itu bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu menurut kajian tersebut.
Saya tidak paham, aspek wayang bagian mana yang dilihat sehingga ia bisa menyimpulkan demikian. Memang benar, bahwa wayang tidak pernah tersebut di manapun dalam Al-Qur’an dan hadis. Karena memang pewayangan bukan merupakan tradisi yang ada di Arab. Namun, naif rasanya jika kemudian menghakimi buruk sesuatu hanya karena ia tidak ada dalam Al-Qur’an.
Seperti halnya pisau, wayang pada hakikatnya hanyalah sebuah benda yang bebas nilai. Manusia kemudian memberinya nilai-nilai yang menentukan apakah benda tersebut baik atau buruk.
Berbicara tentang wayang kulit, misalnya. Wayang kulit sendiri sudah tercatat ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi, jauh sebelum cerita Mahabarata dan Ramayana masuk ke Indonesia. Awalnya wayang kulit digunakan sebagai medium untuk memanggil arwah leluhur dan melakukan pemujaan. Hal ini dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat Jawa kuno, yang masih melakukan ritual penyembahan pada arwah leluhur. Pemujaan ini dilakukan melalui pagelaran wayang.
Kemudian seiring berjalannya waktu masuklah pengaruh Hindu ke Jawa. Pada era tersebut, pembawa agama Hindu melihat wayang kulit sebagai media penyebaran ajaran yang efektif. Baru kemudian epos Mahabarata dan Ramayana diadaptasikan ke dalam penceritaan wayang, Akulturasi tersebut bisa dikatakan berjalan lancar, karena pada akhirnya Hindu bisa diterima di Jawa pada masa tersebut.
Setelah berhasil digunakan oleh kebudayaan Hindu untuk masuk dan menyebarkan ajarannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Wali Songo. Kesembilan Wali ini menjadi tokoh-tokoh besar penyebaran agama Islam di tanah Jawa, dengan cara yang serupa dengan agama Hindu.
Penyebaran agama dengan menggunakan wayang ini dianggap efektif karena pada masa tersebut wayang menjadi salah satu seni kerakyatan yang memiliki banyak sekali peminat. Dengan keahlian penceritaan dan penyisipan pesan ajaran agama Islam, penyebarannya berjalan sukses selama periode waktu tertentu. Dalam pengertian ini, pewayangan mengandung nilai positif karena ia digunakan untuk berdakwah.
Pewayangan juga bisa mengandung nilai negatif, jika ia digunakan, misalnya, untuk propaganda konflik antar suku atau promosi melakukan judi. Jikapun wayang pada akhirnya mendapatkan stigma negatif, maka yang perlu dievaluasi bukan wayangnya, melainkan moral si dalang atau pesan-pesan yang disampaikan.
Rasanya tidak perlu dalil Al-Qur’an atau hadis untuk menjelaskan masalah ini. Jika mengacu pada metode dakwah, Al-Qur’an dalam QS. an-Nahl: 12 hanya berbicara pada ranah prinsipil yang mengacu pada tiga hal, yaitu bil hikmah, artinya seorang penceramah harus secara bijaksana mengetahui tujuan dan mengenal sasaran dakwahnya. Tidak boleh semua masyarakat disamakan.
Kedua, bil mau’izah hasanah. Artinya, dalam memberi nasihat, seorang dai harus menggunakan cara-cara yang baik, dimulai dengan memberikan teladan yang luhur hingga nasihat yang menyejukkan jiwa.
Ketiga, wajadilhum billati hiya ahsan, yaitu diskusi sesuai kondisi masyarakat setempat tanpa melukai perasaan mereka. Al-Qur’an sama sekali tidak berbicara mengenai media dan instrumen dakwah. Selama tiga prinsip utama tersebut terpenuhi, maka media apapun tidak akan menjadi masalah, termasuk wayang.
Di era sekarang, berbagai pemahaman Islam radikal mulai menginvasi Indonesia. Doktrin konservatif seperti yang diperagakan Basalamah tersebut pelan-pelan mengeliminasi satu-persatu identitas negeri yang justru pernah menjadi pagar pembuka bagi Islam untuk masuk ke Nusantara.
Dalam konteks moderasi beragama, seni wayang memiliki peran yang sangat penting. Seni ini dapat dijadikan sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi, kebijaksanaan, dan penghargaan terhadap perbedaan, yang sangat relevan dalam masyarakat yang majemuk. Pun penghargaan kepada wayang juga merupakan salah satu prinsip moderasi beragama.
Karena itu, pelestarian dan penghargaan terhadap seni wayang bukan hanya penting dari segi budaya, tetapi juga sekaligus menghadirkan moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk memperkuat kohesi sosial dan harmoni dalam masyarakat. Seorang cendekiawan muslim Azyumardi Azra menegaskan tentang pentingnya untuk tetap berlogika dalam beragama, agar tetap terus mendapat hikmah dalam kehidupan. Menghargai kearifan lokal tidak menyelisihi agama, namun jalan untuk merefleksikan keragaman yang diciptakan Tuhan di muka bumi.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…