Narasi

Menghadirkan Kurikulum Cinta di Sekolah Keagamaan; Ikhtiar Membangun Persaudaraan Lintas-Iman

Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Nasauddin Umar telah meluncurkan program Kurikulum Cinta. Konsep ini merupakan refleksi mendalam atas berbagai krisis sosial-keagamaan yang selama ini dihadapi masyarakat Indonesia. Pada dasarnya, Kurikulum Cita adalah konsep pengajaran yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis kasing sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Kurikulum Cinta tidak dirancang untuk menggantikan kurikulum pendidikan yang selama ini sudah berjalan dan diterapkan. Kurikulum Cinta adalah paradigma pengajaran yang diharapkan hadir dalam setiap aktivitas pembelajaran di ruang kelas. Tujuannya agar anak-anak memahami hakikat menjadi manusia Indonesia yang hidup di tengah pluralitas budaya dan agama.

Konsep Kurikulum Cinta ini relevan di tengah situasi kekinian dimana anak-anak menjadi kelompok paling rentan terpapar paham intoleransi dan radikalisme. Riset Setara Institute pada tahun 2023 lalu menunjukkan adanya tren kenaikan angka intoleransi dan radikalisme di kalangan pelajar. Hal ini tampak pada sejumlah variabel.

Antara lain, kian banyak siswa muslim yang menolak berteman dengan siswa non-muslim. Bahkan, terjadi kenaikan angka siswa yang menolak Pancasila sebagai ideologi negara. Gejala ini tentu patut dikhawatirkan. Anak-anak adalah masa depan bangsa. Apa jadinya jika mereka sudah terracuni paham intoleran dan radikal sejak dini?

Kerentanan anak pada infiltrasi paham intoleran radikal merupakan akumulasi dari beragam persoalan. Salah satunya adalah kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah berbasis agama. Harus diakui bahwa bagi mayoritas orang tua di Indonesia, pendidikan agama adalah fondasi penting dalam pembentukan karakter anak. Ironisnya, di saat yang sama orang tua justru kerap abai pada pembentukan kesadaran toleransi anak.

Banyak orang tua muslim berambisi membentuk anak menjadi salih dalam artian yang sempit. Yakni kesalehan individual seperti menjadi penghafal Alquran dan hadist, rajin beribadah, mengenakan pakaian muslim. Ambisi itu kerap membuat orang tua menganggap pendidikan toleransi itu tidak penting.

Gagasan Kurikulum Cinta yang mengedepankan pembelajaran berbasis cinta kasih dan toleransi pada keragaman menjadi relevan di tengah fenomena menjamurnya sekolah berbasis keagamaan yang berkarakter eksklusif bahkan intoleran. Seperti kita lihat, saat ini banyak institusi pendikan, baik sekolah maupun pesantren yang mengajarkan siswa atau santrinya berpikir tekstualis dan literalis dalam memahami Islam.

Sekolah atau pesantren yang demikian ini dapat diidentifikasi dari sejumlah karakter. Pertama, sikap alergi pada ideologi negara dan menunjukkan sikap pembangkangan terhadap aturan pemeritah. Contoh paling mudah, tidak mau menggelar upacara bendera, lantaran menganggapnya musyrik.

Kedua, sikap intoleran pada kelompok agama lain dengan melabeli non-muslim sebagai kafir yang harus dimusuhi. Ketiga, sikap anti-kearifan lokal yang tampak pada perilaku melabeli budaya dan adat Nusantara sebagai bidah. Sekolah dengan karakter seperti itu hanya akan melahirkan generasi yang beragama secara simbolik, saleh secara individual, namun gagal membentuk generasi yang inklusif dan nasionalis. Generasi yang beragama secara simbolik dan gemar menghakimi kelompok yang berbeda dengan tudingan bidah, kafir, atau sesat akan menjadi bom waktu di masa depan. Inilah yang harus dicegah bersama.

Maka, implementasi konsep Kurikulum Cinta perlu digalakkan ke seluruh sekolah, terutama yang berbasis keagamaan. Adaptasi Kurikulum Cinta perlu dilakukan pada sekolah-sekolah berbasis keagamaan yang selama ini dikenal eksklusif dan cenderung intoleran. Salah satunya, sekolah-sekolah berlabel Sunnah yang belakangan ini menjamur.

Kemunculan Sekolah Sunnah harus diakui menerbitkan kekhawatiran. Model pendidikan keislaman yang tekstualis-literalis dan mengacu pada referensi kaum salafi-wahabi potensial melahirkan gelombang radikalisasi di kalangan anak. Radikalisasi yang dikemas ke dalam jargon kembali ke Quran dan Sunnah.

Adaptasi gagasan Kurikulum Cinta dapat dilakukan dengan cara sederhana. Misalnya, ketika belajar Alquran, anak-anak wajib diarahkan untuk mengenal dan memahami ayat-ayat yang berisi pesan tentang pentingnya menghormati penganut agama lain. Demikian juga ketika belajar hadist. Anak-anak harus dikenalkan pada hadist-hadist yang menceritakan bagaimana Rasulullah memiliki toleransi yang tinggi pada umat agama lain.

Dari sini, anak akan memiliki kepekaan terhadap keragaman agama. Kepekaan itulah yang akan menjadi modal penting membangun persaudaraan lintas-iman yang belakangan mulai memudar. Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2025 dengan tagline “Anak Indonesia Bersaudara” kiranya menjadi momentum untuk merefleksikan ulang gagasan Kurikulum Cinta.

Pendidikan keagamaan harus diakui memang efektif membentuk karakter anak. Namun, pendidikan keagamaan yang berkarakter tekstualis-literalis hanya akan membentuk anak-anak yang intoleran dan anti-perbedaan.

Maka, penting kiranya menyelaraskan antara pendidikan keagamaan dengan penanaman prinsip toleransi. Sekolah berbasis keagamaan harus mengadaptasi konsep Kurikulum Cinta dalam pembelajarannya. Siswa dan santri harus dididik secara holistik, bukan hanya ditempa sisi relijiusitasnya  namun juga prinsip nasionalismenya.

Dengan begitu, kita patut optimis mampu melahirkan generasi yang relijius-nasionalis. Generasi yang memiliki kesalehan beragama sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dalam bernegara. Karakter inilah yang penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

Salwa Al Hani Hidayah

Recent Posts

Membongkar Narasi Sekolah Islami: Antara Misi Peradaban atau Merek Dagangan ?

Di Indonesia, istilah “sekolah Islam” atau “sekolah Islami” telah menjadi merek tersendiri, yang bersaing dengan sekolah favorit lainnya. Banyak…

21 jam ago

Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

Di tengah peringatan Hari Anak Nasional, sebuah ancaman senyap terus mengintai masa depan generasi penerus…

1 hari ago

Jaga Anak dari Virus Intoleransi: Menuju Indonesia Emas 2045

Peringatan Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan lomba mewarnai atau parade…

1 hari ago

Sudahkah Kita Kritis Memilihkan Sekolah Keagamaan untuk Anak?

Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham…

2 hari ago

Strategi Jangka Panjang Melindungi Generasi Emas dari Virus Intoleransi

Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya…

2 hari ago

Menyoal Dikotomi Sekolah Islam dan Sekuler; Bagaimana Mendefinsikan Kesalehan Anak dalam Bingkai NKRI?

Dalam tradisi setiap masyarakat di Indonesia, semua bayi yang baru saja lahir pasti didoakan dengan…

2 hari ago