Lebih dari sembilan dasawarsa yang lalu, para pemuda dari beragam suku berkumpul. Mereka merumuskan arah perjuangan bangsa untuk merdeka. Akhirnya mereka sampai pada kesempakatan bahwa modal utama untuk merdeka adalah persatuan.
Mereka menyadari, sekat primordial kesukuan membuat gerakan revolusi tidak menemukan momentumnya. Maka, di momen Kongres Pemuda 2 itulah tercetus ikrar untuk bertahan air, berbangsa, dan berbahasa satu, yakni Indonesia. Indonesia hadir sebagai entitas yang melampuai sekat kesukuan dan keagamaan.
Waktu 94 tahun tentu bukan masa yang sebentar. Dunia dalam lingkup global dan kondisi nasional tentu banyak mengalami perubahan. Kini, kita memasuki abad baru, yang ditandai dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Kecerdasan buatan memungkinkan manusia mencapai titik perkembangan peradaban yang selama ini bahkan tidak pernah terpikirkan. Kolaborasi antara kecerdasan manusia dan teknologi komputasi akan membuka banyak kemungkinan inovasi dan terobosan di masa depan. Di tengah perkembangan kecerdasan buatan yang kian tidak terprediksi ini, apakah ikrar Sumpah Pemuda itu masih relevan?
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, penting bagi kita untuk memahami gambaran bagaimana kecerdasan buatan ini berpengaruh pada nasionalisme atau secara luas pada ketahanan sebuah negara. Ian Hogart dalam artikelnya berjudul “AI Nationalism”, menuturkan bahwa perkembangan kecerdasan buatan akan mendorong munculnya fenomena geopolitik baru.
Nasionalisme di Era AI
Hogart menuturkan bahwa lambat laun, kecerdasan buatan akan merambah semua sektor, tidak hanya ekonomi, industri, pendidikan, kesehatan, namun juga sektor politik, pemerintahan, bahkan militer dan keamanan. Pendek kata, ke depan persaingan antar-negara akan sangat diwarnai oleh pengaruh kecerdasan buatan.
Di titik ini, Hogart mewanti-wanti bahwa perkembangan kecerdasan buatan berpotensi melemahkan kedaulatan sebuah negara. Teknologi kecerdasan buatan berpotensi menghapuskan batas-batas ideologi. Pada titik tertentu, penetrasi kecerdasan buatan berpotensi menggerus nasionalisme dan patriotisme. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Salah satu faktornya adalah karena kecerdasan buatan dapat mengubah perilaku, kebiasaan, dan cara pandang termasuk tatanan sosial dan budaya masyarakat. Contoh konkretnya adalah bagaimana sistem algoritma internet dan media sosial cenderung membentuk persepsi masyarakat tentang isu sosial, politik, budaya, agama dan sebagainya. Sistem algoritma media sosial dan internet berpotensi mempersempit cara pandang dan paradigma berpikir masyarakat.
Faktor lain mengapa kecerdasan buatan berpotensi mengancam kedaulatan nasional adalah kenyataan bahwa bangsa kita masih dominan sebagai konsumen alih-alih produsen teknologi termutakhir tersebut. Sebagai negara besar dengan berpenduduk ratusan juta, Indonesia adalah pangsa pasar potensial bagi negara-negara produsen teknologi kecerdasan buatan.
Bukan tidak mungkin di masa depan, berbagai teknologi kecerdasan buatan itu dimanfaatkan untuk memata-matai rahasia negara bahkan mencuri data-data penting yang berkaitan dengan pertahanan negara. Apalagi ketika teknologi kecerdasan buatan itu diadaptasi ke dalam dunia pertahanan dan militer.
Di tengah tantangan perkembangan kecerdasan buatan itu, penguatan ideologi bangsa justru menjadi hal yang urgen. Ketika perilaku, persepsi, dan cara pandang masyarakat mulai dikendalikan oleh algoritma media sosial dan internet, maka penguatan ideologi menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan independensi pikiran.
Membangun Kemandirian Bangsa
Di titik inilah, refleksi Sumpah Pemuda tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa menjadi penting untuk dielaborasi. Sumpah Pemuda adalah fondasi yang menopang kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Deklarasi Sumpah Pemuda adalah tonggak awal membangun kesadaran tentang pentingnya independensi dan lepas dari dominasi bangsa asing.
Di era kecerdasan buatan ini, Sumpah Pemuda tetap relevan sebagai semacam ikrar kebangsaan yang senantiasa mengingatkan kita akan pentingnya kedaulatan. Peringatan Sumpah Pemuda saban tanggal 28 Oktober menjadi momentum pengingat bahwa kedaulatan bangsa itu mahal harganya dan harus dipertahankan dalam kondisi apa pun.
Spirit Sumpah Pemuda yang berkomitmen pada satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa harus diterjemahkan ke dalam sejumlah tindakan konkret. Pertama, membangun kemandirian pikiran. Menjadi pemuda hari ini berarti menjadi generasi yang mandiri dalam pemikiran dan kebudayaan.
Di ranah kebudayaan, sikap independen itu mewujud pada perilaku adaptif sekaligus kritis pada arus budaya asing. Di satu sisi, kaum muda tentu patut mengadaptasi budaya asing yang positif, sekaligus mampu mengkritisi budaya asing yang bertentangan dengan kultur keindonesiaan.
Di ranah pemikiran, independensi kiraya mewujud pada sikap berani memproduksi pengetahuan sendiri yang berakar dari warisan budaya dan ideologi bangsa. Pemuda hari ini memikul tanggung jawab untuk mampu berinovasi dalam bidang sains dan teknologi. Sehingga kita tidak terus-menerus menjadi konsumen atas produk teknologi asing.
Pemuda angkatan 1928 telah membuka jalan bagi kita menjadi bangsa berdaulat dan merdeka. Adalah tugas dan tanggung jawab generasi muda sekarang untuk menunaikan cita-cita kemerdekaan tersebut. Sanggupkah kita?
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…