Narasi

Menghindari Banalitas Beragama; Menuju Kebangkitan Nasional yang Bermakna

Kebangkitan nasional selalu dikenang sebagai momen kolektif ketika kesadaran sebagai bangsa Indonesia mulai menyatu dalam satu tujuan: meraih kemerdekaan dan membangun masa depan yang lebih baik. Di balik sejarah tersebut, tak bisa diabaikan bahwa nilai-nilai religius turut memberi warna kuat dalam membentuk spirit kebangsaan. Nilai-nilai agama telah turut serta menjadi energi moral yang menopang perjuangan kolektif bangsa menuju kebangkitan.

 

Namun, dalam realitas kontemporer, nilai-nilai tersebut mulai berisiko jatuh pada banalitas—yakni pengulangan simbol dan praktik keagamaan yang kehilangan kedalaman makna. Inilah tantangan serius bagi kita semua: bagaimana memastikan bahwa keberagamaan kita tetap otentik, transformatif, dan kontributif terhadap kebangkitan nasional yang sejati?

 

Di tengah masyarakat Indonesia yang religius, agama kerap menjadi sumber otoritas tertinggi dalam menentukan sikap dan pandangan hidup. Kita lebih mudah tersentuh oleh narasi teologis ketimbang argumentasi rasional. Ceramah-ceramah keagamaan bisa menggerakkan massa lebih cepat daripada pidato politik atau laporan ilmiah. Ini sekaligus menunjukkan potensi luar biasa dari agama sebagai kekuatan sosial dan kultural di tengah-tengah kehidupan kita.

 

Namun ketika narasi keagamaan digunakan sekadar sebagai alat retorika tanpa orientasi etis yang jelas, di situlah banalitas mengintai. Simbol-simbol agama dipakai untuk menjustifikasi tindakan-tindakan intoleran, politik identitas, hingga kekerasan, tanpa memperhatikan nilai-nilai universal agama itu sendiri: kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan untuk semua.

 

Kebangkitan nasional tidak boleh dipisahkan dari usaha membangun kualitas keberagamaan masyarakat. Namun, kualitas itu bukan semata diukur dari banyaknya tempat ibadah yang megah, jumlah jemaah yang membludak, atau maraknya kegiatan keagamaan.

 

Kualitas beragama justru diuji ketika nilai-nilai agama mampu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih adil, damai, dan inklusif. Jika tidak, maka yang muncul hanyalah kesalehan semu yang mengeras dalam bentuk simbolisme, ritualisme, dan moralitas permukaan. Inilah bentuk banalitas beragama yang harus dihindari oleh kita semua sebagai umat beragama.

 

Di sisi lain, banalitas beragama juga muncul ketika agama direduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan atau proyek politik. Sejumlah kelompok radikal dan ekstremis memanfaatkan semangat keagamaan untuk merongrong semangat nasionalisme, bahkan memecah belah persatuan bangsa.

 

Mereka memakai jargon-jargon agama untuk menolak demokrasi, mengkafirkan sesama anak bangsa, atau menggugat dasar negara. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai suci dapat diselewengkan jika tak disertai dengan kesadaran kritis dan kedalaman spiritual. Agama yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu justru dijadikan alat untuk menabur perpecahan. Di sinilah pentingnya mengembangkan narasi keberagamaan yang inklusif dan dialogis.

 

Agama tidak boleh dipakai untuk menyeragamkan pandangan hidup masyarakat atau meniadakan hak-hak kelompok minoritas. Justru, kualitas spiritual seseorang diuji dari sejauh mana ia mampu bersikap adil dan welas asih terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

 

Spirit keagamaan harus hadir dalam perilaku sehari-hari: dalam kejujuran saat bekerja, keadilan dalam membuat keputusan, serta kepedulian terhadap sesama. Inilah kualitas beragama yang hakiki—yang tidak hanya terlihat di masjid, gereja, vihara, atau pura, tetapi juga di jalan raya, ruang sidang, dan pasar tradisional. Jika agama hanya hidup di ruang sakral tetapi mati di ruang sosial, maka kebangkitan nasional akan kehilangan ruhnya dalam konteks kekinian.

 

Kita harus bertanya: bagaimana nilai-nilai agama dapat membentuk warga negara yang bertanggung jawab? Bagaimana agama bisa menjadi motor penggerak solidaritas, keadilan, dan inovasi sosial? Dan yang paling penting: bagaimana kita menjaga agar agama tidak menjadi klise yang kehilangan makna, melainkan tetap menjadi sumber kebijaksanaan dan kekuatan moral?

 

Kebangkitan nasional yang bermakna hanya bisa terwujud jika kita mampu menjaga kualitas keberagamaan dari jebakan banalitas. Kita harus terus belajar memaknai agama secara mendalam dan kontekstual, agar ia benar-benar menjadi cahaya dalam perjalanan bangsa.

Helliyatul Hasanah

Recent Posts

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

20 jam ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

20 jam ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

20 jam ago

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

2 hari ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

2 hari ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

2 hari ago