Masyarakat Indonesia sudah selesai melaksanakan pemilihan presiden bulan lalu, akan tetapi perdebatan tentang hasilnya seakan belum selesai menjadi topik perbincangan khalayak. Demokrasi yang sebenarnya adalah ruang hidup bersama malah dibuat seperti gelanggang perkelahian. Perbedaan pendapat dalam demokrasi bukanlah permusuhan akan tetapi ruang untuk berbicara bersama.
Sayangnya, perdebatan ini tidak lepas dari narasi-narasi keagamaan yang mengarahkan perbincangan bukan pada persatuan, akan tetapi pada kebencian dan perpecahan. Ajaran dan istilah-istilah yang mengandung permusuhan dalam narasi agama digunakan untuk menggiring opini masyarakat bukan pada perbincangan yang sehat, akan tetapi pada permusuhan. Dari ukuran ini kita dapat mengukur keberhasilan kita dalam menyelaraskan ajaran agama dan praktik demokrasi.
Lebih lagi, kemelekatan masyarakat Indonesia hari ini dengan layar-layar digital menuntut adanya kedewasaan dalam menggunakan media sosial. Masyarakat secara perlahan diradikalisasi melalui komentar-komentar kasar terhadap satu sama lain, yang berujung pada permusuhan dan kebencian yang terjebak pada stereotip tertentu tentang kelompok keagamaan lain. Berkenaan dengan hal inilah kesadaran tentang hasutan kebencian diperlukan.
Hasutan kebencian (incitement to hatred) adalah istilah yang digunakan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk merujuk pada pernyataan-pernyataan di ruang publik, termasuk di media sosial, yang mengudang kebencian, diskriminasi, dan kekerasan pada kelompok tertentu. Berarti, hasutan kebencian ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dalam Rabat Plan of Action, Komisi HAM PBB menerangkan ada enam kriteria yang harus diperhatikan untuk melihat apakah sebuah ujaran, termasuk komentar di internet, dapat dikategorikan sebagai hasutan kebencian.
Pertama: Konteks. Situasi dan kondisi yang menyertai sebuah pernyataan akan menentukan efek dari sebuah ujaran. Dalam hal ini kita perlu peka terhadap situasi sosial politik kita untuk melihat apakah ujaran-ujaran kita tentang keagamaan dapat menimbulkan diskriminasi atau bahkan kekerasan bagi kelompok lain. Konteks yang sedang genting akan menjadi kesempatan besar radikalisasi.
Kedua: Pembicara. Status kita di tengah masyarakat akan menimbulkan efek yang berbeda juga di tengah masyarakat. Status sebagai pemimpin umat beragama, sebagai tokoh yang dituakan di masyarakat, sebagai anggota keluarga dan masyarakat harus terus kita sadari agar kita mampu memilah secara bijaksana hal-hal yang kita utarakan di muka umum.
Ketiga: Niat. Dalam dunia yang semakin terkoneksi ini, niat kita memberikan sebuah ujaran atau komentar dalam media sosial harus terus disadari. Niat-niat buruk seperti permusuhan dan kebencian akan jauh lebih mudah untuk tersebar hari ini melalui media sosial, sehingga kita perlu untuk terus berhati-hati dalam melihat kembali niat yang kita sebarkan kepada orang-orang.
Keempat: Isi dan Bentuk. Isi ujaran atau komentar yang kita berikan merupakan salah satu hal kunci yang akan ditafsirkan oleh orang-orang yang mendengar atau membaca ujaran atau komentar tersebut. Oleh karena itu, perlu juga kita bijak dalam memilih istilah, bentuk kalimat, dan hal-hal lainnya agar tidak justru menuntun orang lain pada kebencian dan permusuhan tadi.
Kelima: Cakupan. Media sosial memperluas jangkauan dari ujaran dan komentar yang kita buat. Hal ini membuat ujaran dan komentar kita mampu untuk membawa pengaruh yang jauh lebih besar dari yang mungkin kita sadari. Laiknya pengeras suara, ujaran kebencian yang kecil saja sudah dapat membesar suara dan jangkauannya sehingga kita harus terus betul-betul memerhatikan cara kita menggunakan media sosial.
Keenam: Kemungkinan Memancing Permusuhan. Hal ini yang membuat radikalisasi semakin gencar dalam momen-momen politik besar seperti peristiwa pemilu. Konteks politik yang sedang dalam titik genting menjadi momen favorit kaum radikal menyebarkan narasi kebencian mereka karena dalam titik inilah hasutan kebencian itu memiliki potensi paling besar untuk mengakibatkan permusuhan dan diskriminasi.
Praktik demokrasi dalam suatu negara tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek keagamaan. Sesekuler apapun sebuah sistem pemerintahan negara demokrasi, keagamaan yang meresap dalam kehidupan masyarakatnya akan memengaruhi bagaimana demokrasi itu dipraktikkan. Praktik agama dan praktik demokrasi yang bertalian tersebut sekarang mewujud juga dalam perbincangan di dunia maya.
Namun, karena Pancasila adalah dasar kehidupan warga negara Indonesia, maka nilai-nilai kepentingan bersama seperti gotong royong harus menjadi tujuan utama. Praktik demokrasi dan keagamaan yang saling bersambungan tadi juga harus diarahkan pada kepentingan bersama. Dalam tujuan itulah kita perlu berhati-hati agar tidak menyebarkan hasutan kebencian dalam ujaran dan komentar kita di media sosial.
Ukuran yang disepakati oleh PBB tentang hasutan kebencian didasarkan pada hak setiap manusia untuk dapat hidup bersama secara setara. Berhati-hati dalam bersikap di media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari adalah aspek penting dalam proses praktik demokrasi dan keagamaan kita dapat berjalan dengan baik, bukan untuk diri sendiri akan tetapi untuk kepentingan bersama. Perbedaan pendapat menjamin jalannya demokrasi dan keragaman agama memastikan prosesnya berjalan dengan baik.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…